Tidarislam.co- Universitas Indonesia mengadakan kuliah publik berjudul “A Critical Review of Moderate Islam in the Muslim World” pada Jum’at, 30 Mei 2025. Acara yang dilaksanakan di Auditorium Mochtar Riady ini diselenggarakan atas kerjasama antara Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities dan Pusat Kajian Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI. Kuliah ini disampaikan oleh antropolog agama dari Emory University Amerika, James Hoesterey.
Sebelumnya, dalam penelitian tentang Islam di Indonesia, Hoesterey yang sudah meneliti Indonesia sejak 1994 dan dikenal sebagai salah satu Indonesianis sekarang ini, telah mempublikasikan buku Rebranding Islam: Piety, Prosperity, and Self-Help Guru diterbitkan oleh Standford University Press.
Dalam kuliahnya, Hoesterey menjelaskan bahwa istilah “Moderate Islam” yang diterjemahkan menjadi Islam Moderat sesungguhya bias Barat, karena istilah berasal dari Barat, terutama sebagai kebijakan politik luar negeri yang didasari kecurigaan besar terhadap perkembangan Muslim terutama pasca Revolusi Iran, tragedi 9/11 di Amerika, dan tragedi Bom Bali 2002. Oleh karena itu penting untuk melihat munculnya wacana dan gerakan Islam Moderat sebagai sebuah Foreign Policy.
Dalam konteks Indonesia pasca 9/11, Moderate Islam sebagai sebuah Foreign Policy tampak dalam berbagai diplomasi internasional, misalnya, dalam upaya-upaya “Rebranding Indonesia”, atau membranding Islam Indonesia di mata dunia, untuk menggambarkan kembali tentang citra smiling Islam di Indonesia. Upaya itu sebetulnya sudah dimulai sejak Hasan Wirajuda dengan diplomasi-diplomasi tentang Islam Indonesia. Upaya Hasan Wirajuda menurutnya melakukan Rebranding Islam. Kebijakan tersebut sebetulnya masih berlangsung sampai sekarang dengan program-program yang diusung oleh organisasi Islam di Indonesia.
Baca juga: Kuliah Umum tentang Moderasi Agama Menghadapi Tantangan Global oleh Rektor Al-Azhar
Hoesterey juga menyinggung peran Muslim yang selama ini dikenal moderat seperti Nahdlatul Ulama dan menjadi aktor utama yang menawarkan konsepsi tentang Islam Nusantara sebagai representasi Islam Moderat. Menurutnya, secara positif ini dapat dilihat sebagai bentuk “self-confidence” oleh komunitas Muslim di Indonesia, bahwa mereka menemukan kepercayaan diri kembali. Kepercayaan diri itu pula yang mendorong NU melalui program-program Islam Moderat seperti International Summit of Moderate Islamic Leader pada masa Joko Widodo, sebagai diplomasi lunak tentang Nahdlatul Ulama dan Islam Nusantara.
Upaya pewacanaan Islam Nusantara oleh Nahdlatul Ulama pada masa Said Aqil Siraj ditujukan untuk memperkenalkan kembali tentang karakteristik moderat dari Islam di Indonesia, dan menolak anggapan selama ini bahwa Islam di Indonesia adalah “peripheral Islam”, dan pusat perhatian Islam selama ini lebih berpusat ke Timur Tengah.
Hoesterey juga membicarakan peran ketokohan penting lainnya dalam tubuh Nahdlatul Ulama yang selama ini juga mengusung gagasan Islam Moderat di Indonesia, seperti Gus Yahya Chalil Tsaquf (sejak sebelum memimpin NU), yang mempromosikan moderasi Islam melalui pendekatan keislaman tradisional, khususnya fiqh dan tasawuf. Kini, ia mempromosikan Islam Moderat melalui agenda Humanitarian Islam.
Baca juga: Humanitarian Islam vs Islam Wasatiyah
Sebagai seorang antropolog yang melihat berbagai bentuk fenomena Islam yang luas, Hoesterey turut memberikan kritik tentang pewacanaan Islam Moderat, seperti misalnya melalui ide Humanitarian Islam. Dalam konteks memahami Islam Moderat secara lebih kritis, ia melihat bahwa konsep “moderat” itu sangat kategoris, dan itu merupakan katerogi politis (political category). Oleh karena itu, menurutnya, gagasan dan gerakan Islam Moderat, harus lebih dari sekedar counter-terorisme yang dapat terjebak dalam wacana politis. Islam Moderat harus melampui paradigma security, dan memberikan “keindahan” Islam dalam berbagai segi di luar segi keamanan.
Menurutnya, dalam pewacanaan Humanitarian Islam oleh Nahdlatul Ulama mendapatkan kritik karena masih sering diwacanakan dengan paradigma keamanan (security paradigm), seolah-olah pewacanaan Humanitarian Islam adalah sebagai “reaksi” dan jawaban terhadap perlunya upaya counter-terorisme dan radikalisme yang sesungguhnya sangat politis. Dan memang ada beberapa penulis Barat bahwa konsep Humanisme Islam itu masih terkesan romantisistik dan idealistik.
Hoesterey juga menyapaikan bahwa Humanitarian Islam masih dalam tataran “diskursus” dan belum menjadi gerakan Islam (social movement) yang sesungguhnya, apalagi dapat diharapkan untuk berpengaruh pada skala global. Pada kenyataannya, Humanitarian Islam juga harus berkompetisi dengan aktor lainnya, seperti Muhammadiyah, dan juga harus memberikan respon dan mempertimbangkan keislaman lainnya yang tumbuh di Maroko, Mesir, Saudi, Malaysia, Turki, sehingga itu menjadi celah bagi anggapan bahwa gagasan ini bersifat sektarian. Ia juga menyoroti pendekatan klasik seperti fiqh dalam memperkenalkan Humanitarian Islam, di tengah pewacanaan Islam Moderat selama ini yang masih dianggap elitis dan lebih didistribusikan secara top-down.
Terakhir, berkaca dari kehidupan masyarakat di Amerika, Hoesterey menekankan pentingnya diplomasi Islam melalui gerakan-gerakan dengan pendekatan hati, tidak elitis, dan pendekatan-pendekatan Islam yang tumbuh dari bawah, terutama dalam menghadapi era Trump sekarang ini. Pendekatan arus bawah dengan diplomasi sehari-hari atau “daily diplomation” itu lebih efektif untuk menggambarkan Islam Rahmatan Lilalamin di dunia Barat, daripada dengan program-program elitis dan bombastis yang sarat selubung kepentingan politik.
Dinarasikan kembali oleh Redaksi Tidarislam.co
Baca juga: Pembentuk Mozaik Reformasi Islam di Asia Tenggara