Diskusi Publik Universitas Darunnajah: “Islam di Australia: Tantangan dan Peluang Institusi Pendidikan Islam”

Oleh: Nabiila

Tidarislam.co- Universitas Darunnajah, bekerja sama dengan Central Wakaf of Pesantren dan Dewan Mahasiswa—khususnya melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—mengadakan kegiatan Diskusi Publik bertajuk “Islam di Australia: Tantangan dan Peluang Institusi Pendidikan Islam” (Jakarta, 09 Mei 2025).

Kegiatan ini diselenggarakan sebagai forum ilmiah terbuka yang ditujukan tidak hanya bagi mahasiswa dan dosen Universitas Darunnajah, tetapi juga bagi masyarakat umum yang memiliki ketertarikan terhadap isu-isu dakwah dan pendidikan Islam di negara-negara dengan populasi Muslim minoritas, khususnya di Australia.

Acara dibuka dengan sambutan oleh Ust. Agan Priam Bagus,S.Pd., mewakili Rektor Universitas Darunnajah. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa sebagian masyarakat, khususnya awam, kerap memiliki anggapan bahwa Australia sepenuhnya merupakan negara non-Muslim yang didominasi oleh umat Kristiani. Oleh karena itu, diskusi publik ini menjadi kesempatan penting untuk membuktikan bahwa realitas umat Islam di Australia jauh lebih beragam dan dinamis dari yang dibayangkan. Beliau juga menekankan bahwa pada kesempatan kali ini, peserta tidak hanya akan mendengar perspektif dari satu narasumber, tetapi juga akan diperluas melalui pandangan pembanding, sehingga diskusi menjadi lebih kaya dan berimbang.

Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Darunnajah, yang menegaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan peserta mengenai kondisi umat Islam di Australia, serta memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang kehidupan dan tantangan dakwah di sana. Diskusi ini diharapkan dapat menjadi jembatan pengetahuan, terutama bagi mahasiswa atau masyarakat yang memiliki minat untuk melanjutkan pendidikan atau merintis lembaga pendidikan Islam di Australia.

Diskusi menghadirkan Mr. Ali Abdullah, seorang Imam masjid dan scholar di salah satu Islamic School di Australia, sebagai narasumber utama. Dalam pemaparannya, Mr. Ali Abdullah menjelaskan bahwa Australia merupakan sebuah negara sekaligus benua yang jumlah penduduk Muslimnya tergolong minoritas. Ia mengawali penjelasan dengan menggambarkan latar sejarah Australia, yang dihuni oleh penduduk asli, suku Aborigin, sejak lebih dari 60.000 tahun lalu. Kolonialisasi dimulai pada tahun 1788 oleh Inggris, dan dalam prosesnya, Australia mengalami gelombang migrasi dari berbagai bangsa.

Baca juga: Kuliah Umum Internasional di Pesantren Darunnajah dan Universitas Darunnajah

Pada tahun 1901, pemerintah Australia menetapkan kebijakan imigrasi yang hanya menerima pendatang dari Eropa (ras kulit putih). Saat wilayah Australia dilanda kekeringan, pemerintah mendatangkan unta beserta para penggembalanya yang berasal dari Pakistan dan Afghanistan. Dari sinilah jejak awal Islam mulai tumbuh di benua tersebut. Kemudian pada tahun 1907, menandai akhir dari kedatangan para pelaut Makassar ke Australia akibat penerapan sistem pajak yang memberatkan, yang secara efektif menghentikan hubungan perdagangan dan interaksi mereka dengan masyarakat setempat.

Perkembangan signifikan Islam di Australia baru terjadi pada dekade 1970–1980-an, ketika mulai dibangun fasilitas-fasilitas ibadah dan pendidikan Islam. Mayoritas umat Islam di Australia saat ini merupakan keturunan imigran dari India, Pakistan, dan Bangladesh—sering disebut dengan singkatan IPB.

Menurut sensus nasional tahun 2021, Muslim di Australia berjumlah sekitar 3,2% dari total populasi. Menariknya, data sensus ini menjadi satu-satunya sumber informasi yang dapat diandalkan, karena pemerintah Australia tidak memiliki sistem pencatatan agama secara resmi. Sekitar 43% Muslim diketahui tinggal terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Sydney dan Melbourne.

Gambar: Mr. Ali Abdullah dalam sesi diskusi publik tentang tantangan pendidikan Islam di Australia. Sumber: dokumentasi pribadi. 

Tantangan terhadap pengembangan pendidikan Islam di Australia cukup kompleks. Perubahan demografi yang signifikan terjadi seiring meningkatnya jumlah masyarakat yang tidak lagi beragama, serta merebaknya gaya hidup bebas yang diwarnai oleh meningkatnya penerimaan terhadap isu-isu seperti LGBT, yang kini bahkan dirayakan secara terbuka. Selain itu, Islamofobia, keterbatasan sekolah Islam, serta kurangnya tenaga pengajar yang kompeten menjadi hambatan serius.

Tantangan utama dalam pengembangan institusi pendidikan Islam di Australia hari ini meliputi: (1) Islamofobia dan resistensi sosial, (2) Integrasi kurikulum dengan standar nasional, (3) Kekurangan guru berkualitas, (4) Keterbatasan dana, dan (5) Keberagaman budaya dalam komunitas Muslim (cultural diversity).

Meski demikian, menurut Mr. Ali Abdullah, Australia juga menyimpan sejumlah peluang besar dalam pengembangan pendidikan Islam, di antaranya: (1) Lingkungan masyarakat yang multikultural dan menjunjung pluralisme agama, (2) Kesempatan membangun komunitas Muslim yang solid (community building), (3) Dukungan dari beberapa elemen pemerintahan (government engagement), (4) Pertumbuhan populasi Muslim yang terus meningkat, (5) Kebebasan beragama yang dijamin undang-undang, dan (6) Tingginya permintaan terhadap institusi pendidikan Islam yang berkualitas.

Mr. Ali Abdullah juga mengingatkan bahwa bagi siapa pun yang ingin membangun institusi pendidikan di Australia, perlu memperhatikan berbagai aspek administratif dan manajerial. Mulai dari kejelasan regulasi, status lahan (apakah harus sewa atau beli), keterlibatan investor, hingga kemampuan mengelola lembaga secara profesional agar sesuai dengan standar yang berlaku di Australia.

Baca juga: Khairuddin Aljunied tentang Buya Hamka dan Ide Kosmopolitanisme Islam

Hadir juga Moh. Fiqi, seorang mahasiswa Universitas Darunnajah dari Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI), yang turut berpartisipasi dalam diskusi ini sebagai pembanding. Moh. Fiqi menyampaikan pandangan yang memperkaya diskusi, khususnya dengan menyoroti aspek sosial dan kultural dari perkembangan Islam di Australia. Ia menjelaskan bahwa beberapa suku Aborigin mulai mengenal Islam ketika mereka berada di dalam lembaga pemasyarakatan, di mana mereka bertemu dengan Muslim lainnya yang kemudian mengenalkan ajaran Islam. Setelah bebas, mereka pun turut menyebarkan ajaran tersebut di komunitasnya.

Lebih lanjut, Moh. Fiqi mengutip informasi dari situs resmi ABC Australia yang menyebutkan bahwa terdapat institusi pendidikan bernama al Noori Muslim Primary, yang merupakan salah satu bentuk pendidikan Islam bagi komunitas pribumi. Sekolah ini bersifat berpindah-pindah lokasi dan memiliki program khusus. Juga ada  sekolah untuk perempuan yang berfokus pada pengajaran ilmu tauhid yang dikenal dengan nama MGGS.

Ia juga menyoroti temuan riset yang dilakukan di wilayah utara Australia, khususnya di kota Darwin, yang menunjukkan bahwa waktu pengajaran pendidikan Islam hanya dialokasikan selama tiga jam, sehingga masih sangat terbatas. Selain keterbatasan waktu, kendala dalam pemahaman bahasa Arab serta krisis identitas keislaman juga menjadi tantangan serius dalam proses pendidikan Islam di kalangan Muslim pribumi Australia.

Diskusi dimoderatori oleh Insyira Wardani, yang memandu jalannya acara dengan tertib dan dinamis. Dalam sesi tanya jawab, para peserta aktif mengajukan berbagai pertanyaan, terutama dari kalangan yang tertarik untuk mendirikan sekolah atau lembaga pendidikan Islam di Australia. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul mencakup berbagai aspek penting, seperti bagaimana cara membuka institusi pendidikan di Australia, apakah diperlukan penyewaan atau pembelian lahan, serta regulasi dan peta jalan dari pemerintah terkait harga dan prosedur pendirian lembaga pendidikan. Selain itu, peserta juga mempertanyakan apakah perlu adanya investor lokal untuk mendukung pendirian tersebut, dan apakah terdapat peluang untuk mendirikan sekolah informal yang fokus pada pengajaran, seperti program penghafalan Al-Qur’an yang dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.

Kegiatan ini memberikan kontribusi penting dalam membuka cakrawala berpikir global bagi mahasiswa dan dosen Universitas Darunnajah juga Masyarakat umum yang mengikuti acara ini. Selain sebagai sarana akademik, diskusi ini juga menjadi medium penguatan jejaring internasional dalam bidang pendidikan Islam.

Nabiila, merupakan mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Darunnajah Jakarta

Baca juga: Para Pembentuk Reformisme Islam di Asia Tenggara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *