Seputar Haji (5): Filosofi Thawaf

Tidarislam.co- Salah satu rukun dalam ibadah haji adalah thawaf, yaitu mengitari Ka’bah dengan gerakan arah berlawanan jarum jam sebanyak 7 kali. Berjuta orang jama’ah haji dari seluruh dunia tumpah ruah memenuhi Masjidil Haram. Mereka bergerak melingkar bersama-sama secara beraturan dengan mengelilingi Ka’bah, sembari melantunkan kalimat-kalimat talbiyah kepada Allah.

Saat itulah, tampak sebuah pemandangan yang sangat menggetarkan siapa saja yang memandangnya, walaupun sekedar melihat dan tidak terlibat langsung di dalamnya. Gerakan thawaf terjadi secara konstan dan disiplin seolah menciptakan sebuah energi magis.

Namun, apa sesungguhnya makna filosofis atau pesan di balik gerakan thawaf? Dalam bukunya The Pilgrimage, (trans: Makna Haji, 2002) sosiolog agama Ali Shariati mengungkap hikmah mutiara di balik ibadah haji. Salah satunya uraian tentang makna atau pesan thawaf. Kita bisa menyederhanakan pesan utamanya menjadi dua. Thawaf memiliki pesan makna vertikal, atau bisa kita sebut pesan transendental atau dimensi ketuhanan; selain itu, ada pula pesan horizontal atau sosial atau dimensi kemanusiaan. Dengan kata lain, ketika berthawaf, kita memasuki dua gugusan utama: dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.

Pertama, dimensi ketuhanan. Thawaf dikatakan sebagai gerakan transendental untuk menuju Allah. Orang yang berthawaf berarti memasuki dimensi yang lebih tinggi, untuk menyerahkan diri kepada Allah. Sebab, Allah adalah sebagai pusat eksistensi alam semesta.

Ali Shariati (2002) memberikan ilustrasi yang menarik untuk menggambarkan thawaf:

Manusia ketika thawaf seolah seperti masuk dan “hanyut” ke dalam arus air sungai besar yang bermuara ke laut samudera tak terbatas. Kita tidak menjadi embun kecil yang hanya memilih di tepian sungai karena akan sirna dalam beberapa saat, tetapi kita menjadi air sungai, kita memasukkan diri ke dalam arus sungai untuk membawa menuju pada keabadian, menuju Allah.

Disinilah kita masuk ke sebuah dimensi universalitas ketuhanan. Kita tidak menjadi partikular, yaitu diri yang “tanggal” atau “terlepas” menjauh dari sumbernya, terjebak dalam kepentingan jangka pendek yang bersifat sementara; kita menjadi manusia egois yang mementingkan diri sendiri; tapi ketika thawaf, kita dilatih menanggalkan egoisme dan mencoba kembali kepada universalitas ketuhanan, kembali kepada spirit ketuhanan.

Baca juga: Seputar Haji (3): Haji sebagai Revolusi Spiritual

Beberapa penulis lain seperti Nurcholish Madjid (2019) memberikan uraian hikmah yang kurang lebih sama, bahwa gerak thawaf yang melingkar itu pada hakikatnya merupakan gerakan semesta atau gerak kosmis. Thawaf seringkali disebut juga simbol dari hukum alam. Alam semesta juga taat kepada Allah dengan melaksanakan sunnatullah, di antaranya gerakan melingkar-lingkar. Sehingga thawaf adalah gerakan kosmik.

Berbagai penemuan ilmiah semakin menunjukkan fenomena kosmologis bahwa gugusan bintang-bintang bergerak di dalam sebuah galaksi dengan pola melingkari pusat galaksi. Demikian pula galaksi terhadap yang lain. Alam menjadi semacam putaran energi. Thawaf, dengan demikian, dilakukan dalam rangka meraih kesadaran kosmik.

Setiap makhluk di alam semesta pada dasarnya bergerak dan berputar, artinya juga berthawaf. Demikian pula para malaikat di langit. Mereka beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih dan berthawaf. Konon Nabi Adam, ketika di surga, menyaksikan thawafnya para malaikat. Kemudian ketika jatuh ke bumi, Adam membuat replika thawaf di bumi.

Dengan demikian, thawaf berarti kita berjalan secara transenden atau vertikal menuju kepada Allah, Sang Pencipta, dan itu hanya mungkin dilakukan dengan baik ketika kita menanggalkan sifat-sifat egoisme kita yang mementingkan kepentingan sesaat di dunia ini daripada kepentingan jangka panjang di dalam keabadian. Dengan kesadaran transendental tersebut, diharapkan orang yang bertawaf akan menemukan kesadaran dan menjadi lebih saleh secara ritual.

Baca juga: Seputar Haji (1): Perjalanan Spiritual menuju Baitullah

Kedua, dimensi kemanusiaan. Thawaf juga memberikan pesan sosial kemanusiaan. Ketika kita berthawaf, kita terjun dalam gelombang manusia; kita meleburkan diri dalam gelombang lautan manusia tanpa memandang latar belakang suku, bahasa, ras, bangsa, dan sama-sama berjalan menuju Allah. Dengan kata lain, kita masuk ke dalam universalitas kemanusiaan dan mengikatkan diri ke dalam kepentingan sebuah “ummah”. Kita menjadi bagian tak terpisahkan dari kesatuan umat manusia yang berjalan bersama menuju Allah.

Islam tidak mengajarkan kerahiban yang menciptakan pribadi yang egois yang mengisolasi diri dari realitas. Begitulah thawaf yang berarti gerakan “melangit” dan “membumi” sekaligus.

Selain mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, dengan thawaf kita diajarkan untuk menekan ego kita, untuk turut terlibat dalam kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Egoisme kita lebur dalam ummah, menyatu dalam kepentingan umat manusia. Dengan begitu, kita dituntut untuk berkontribusi dalam menyelesaikan problem-problem kemanusiaan.

Berthawaf berarti totalitas dalam terlibat memperjuangkan kepentingan umat. Siapa yang egois, berarti hidupnya stagnan, tidak bergerak, dan dipandang dari filosofi thawaf, itu pada hakikatnya pertanda kematian.

Itulah perjuangan, yang memerlukan pengorbanan jiwa, raga, maupun harta. Perwujudannya bisa dalam berbagai bentuk, misalnya, kedermawanan, kebaikan sosial, memberikan pertolongan yang membutuhkan, hingga berjihad untuk kemanusiaan.

Filosofi gerakan thawaf ini sebenarnya telah menginspirasi beberapa tradisi spiritualisme Islam, seperti tarekat-tarekat yang menggunakan gerak sebagai medium dzikir, seperti tarekat Maulawiyah yang diciptakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi. Gerakan melingkar atau whirling dalam tarekat ini terinspirasi oleh thawaf semesta. Mereka berdzikir dengan menari-nari. Satu sisi menghubungkan diri dengan Allah sebagai pusat energi semesta. Sisi lainnya melambaikan tangannya sebagai bentuk transfer energi dan menebarkan “rahmat” dan kasih sayang Tuhan kepada manusia dan makhluk di sekitarnya.

Baca juga: Mengenal Tarian Sufi Jalaluddin Rumi

Dua pesan di balik ritual thawaf ketika berhaji tersebut sesungguhnya selaras dengan pesan haji tentang monotheisme (tauhid). Artinya menuju kepada hanya satu inti kehidupan. Berthawaf berarti keikhlasan untuk menanggalkan egoisme kita untuk masuk ke dalam satu-satunya dimensi yang lebih besar, yakni dimensi ketuhanan. Namun gerakan transenden ini juga memiliki konsekwensi sosial, yakni masuk dalam dimensi kemanusiaan. Singkatnya, buah dari thawaf bagi orang yang sudah melakanakan haji tak lain adalah kesalehan individual dan kesalehan sosial. Wallahua’lam.

Referensi:

  • Shariati, Ali. Makna Haji. Jakarta: Yayasan Fatimah, 2002, hlm. 49-53.
  • Madjid, Nurcholish. “Pesan Religius Umroh dan Haji”, dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid. Jakarta: Yayasan Parmadina, 2019, hlm. 4255-4268.

Tidarislam.co

Baca juga: Tiga Tempat Suci Makkah, Madinah, dan Palestina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *