Akal dan Wahyu dalam Pandangan Filsuf Muslim

Tidarislam.co – Pembahasan tentang hubungan antara akal (reason) dengan rasionalitas yang menuntut serba dinamis, dan wahyu (revelation) dengan dogma yang menuntut keyakinan tertutup, telah melahirkan pertentangan dua kubu dalam sejarah pemikiran keagamaan yang terjadi sejak masa klasik, baik oleh para teolog dan filsuf Kristen di dunia Barat, maupun para teolog atau mutakallimin dan filsuf Muslim di dunia Timur.

Perdebatan yang mempertentangan kedua otoritas kebenaran ini, akal dan wahyu, begitu keras sehingga melahirkan sekat ruang terpisah antara iman dan ilmu pengetahuan, teologi agama dan filsafat, keyakinan pada sumber wahyu dan sumber pembuktian rasional. Meskipun demikian, ada pula pihak yang mencoba melihat keduanya sebagai paduan yang lebih sinergis. Dalam hal ini kita akan menelaah beberapa pandangan dalam permasalahan tersebut untuk menunjukkan bahwa di samping dua pandangan ekstrim, ada juga arah yang lebih moderat yang meyakini “keselarasan” antara keduanya.

Hal ini berawal dari permasalahan mendasar, tentang mana yang lebih otoritatif untuk menjelaskan kebenaran antara akal dan wahyu. Di satu sisi, Tuhan dipercaya telah mengabarkan segalanya dengan kebenaran yang tersirat dalam wahyu. Di sisi lain, Tuhan  juga memberikan kesadaran obyektif akali yang memungkinkan manusia berpikir untuk menyingkap setiap esensi kenyataan. Apakah kebenaran hanya dideterminasi oleh perkataan Tuhan dalam kitab suci, dan akal tidak dibolehkan mengembangkan potensinya sebagai anugerah terbesar bagi manusia. Ataukan sebaliknya bahwa akal adalah segalanya dan merupakan dasar kebenaran bagi manusia. Mungkinkah menjembatani antara keduanya?

Baca juga: Asal Usul Ilmu Kalam dalam Tradisi Pemikiran Islam

Dua pandangan ekstrim antara fideisme dan rasionalisme absolut

Jika kita merujuk pada tradisi filsuf Kristen pada masa klasik, otoritas wahyu yang mensyaratkan keimanan dan kepercayaan yang kemudian diikuti dengan kekuatan rasio diutarakan oleh seorang teolog Kristen Anselmus perihal nisbah antara iman dan ilmu pengetahuan dalam fides quaerens intellectum (iman berusaha untuk mengerti), atau secara pribadi dikatakan credo ut intelligam (aku percaya untuk mengerti). Pandangannya yang mendasari konsep teologinya yang tertuang dalam “De Veritate” ini didasarkan pada keyakinan akan adanya eksistensi kepercayaan absolut yang mengatasi segala bentuk yang partikular.

Oleh karena itu, menurut Anselmus, sikap yang benar adalah mengedepankan kepercayaan untuk mendalami dengan akalnya apa yang telah dipercayainya. Bagi Anselmus, “yang terpenting bukan saya ingin mengetahui apa yang kemudian saya imani, tetapi saya mengimani yang akan saya mengerti. Untuk itu makanya saya harus percaya dahulu, kalau tidak saya tidak akan pernah mengerti”. Bagi Anselmus, kebenaran yang paling utama adalah revealed truth, kebenaran yang didasarkan pada kebenaran ilahiah, sedangkan kebenaran yang lain bersifat partikular yang berfungsi untuk memperkuat kepercayaan dan keyakinan. Anselmus mencari-cari terhadap apa yang disebut dengan “rationes necessariae”, yakni dasar-dasar yang tidak dapat tidak ada supaya sesuatu ada dan dapat dipikirkan. Bagi kebenaran yang diimani ia mencari dasar yang secara rasional meyakinkan. Ini bukan “rasionalisme” semata karena Anselmus bertitik tolak pada iman, kebenaran yang diimani dahulu.

Serupa dengan pandangan Anselmus di atas adalah apa yang dikemukakan oleh Augustinus, seorang teolog besar pada abad pertengahan yang meletakkan dasar kepastian segala kebenaran yang berasal dari sumber yang metafisis yaitu Allah dengan bukti-bukti kausal. Kesemua bukti –yang dalam pandangan Anselmus adalah partikular– adalah dalam rangka menjadikan sifat-sifat kebenaran dapat dimengerti.

Keduanya, Anselmus dan Augustinus, berkesimpulan bahwa kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya dahulu, sebab iman tidak memerlukan dasar-dasar akali. Sekalipun orang memperoleh kepastian karena iman, akalnya dengan sendirinya akan didorong oleh iman untuk menyelami kebenaran imani secara lebih lanjut.

Bagi Augustinus, kebenaran kitab suci dapat dijelaskan secara rasional dengan pemikiran yang mendalam. Dari iman orang naik sampai pengetahuan, yaitu pengetahuan yang dilengkapi dengan pembuktian. Akan tetapi hal ini tidak boleh diartikan seolah-olah dengan pembuktian itu kepastian iman bertambah. Kepastian iman tetap sama, tanpa ataupun  dengan pembuktian akal. Sebab kepastian iman diperoleh karena wahyu.

Baca juga: Keberanian Untuk Beriman

Iman dan pengetahuan akali semuanya berasal dari Allah. Perbedaannya terletak disini, bahwa iman diberikan dengan perantaraan wahyu, sedangkan pengetahuan yang akali diberikan dengan perantaraan penerangan ilahi. Iman telah memberi pandangan yang mendalam atas dunia. Akan tetapi iman yang mendalam, yang disertai pengetahuan akali, memberi suatu pandangan yang lebih mendalam lagi atas segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan, baik atas Allah, manusia, dan atas bumi seisinya.

Pandangan di atas kemudian dikenal sebagai fideisme (pandangan yang mendahulukan otoritas keimanan pada wahyu daripada rasio) yang menguat pada abad pertengahan di Eropa, bahwa akal mengakui keterbatasan dan ketergantungannya pada akal Tuhan. Pandangan fideistik ini bertahan hingga terbit fajar abad Pencerahan di Eropa yang menggeser peran agama wahyu, dan melahirkan pandangan umum tentang otonomi penuh akal manusia, sehingga melahirkan berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akal menggantikan peran yang sebelumnya dipegang oleh dogma agama yang berarti akal tunduk di bawah otoritas wahyu. Seluruh realitas yang obyektif diketahui dengan aktivitas akal, dan bukan wahyu.

Seiring perkembangan masa Pencerahan yang memberikan kedudukan tinggi pada akal, semakin disadari bahwa realitas sejarah bersifat kongkret, tak terbatas, berkembang, historis, dan diketahui dengan kesadaran akali. Dalam kedudukan seperti ini, muncul pertanyaan, apakah wahyu mampu menjawab berbagai realitas obyektif yang semakin maju dan menjamah realitas sosial. Pencerahan berarti terlepas dari kungkungan dogma agama atau sekte. Konsekwensinya, kebenaran yang berlaku bukan hanya kebenaran supresif, tetapi kebenaran rasional dan historis yang mampu menjawab tantangan zaman.

Sementara itu, pendekatan rasionalis absolut tampak pada pandangan positivisme logis, yang mendasarkan pengetahuan pada akal, dan sikap sinis terhadap agama, sehingga menghasilkan pemahaman yang agnostik.

Pandangan agnostik mengasumsikan bahwa kebenaran agama adalah bagian dari dogmatisme mistik yang kebenarannya tidaklah logis. Kaum agnotis begitu sentimen terhadap agama sehingga menganggap kitab suci bukan bagian dari pewahyuan Tuhan, dan penuh takhayul layaknya Homerus dengan kisah fiktif. Dalam pandangan semacam itu, tidak ada ruang untuk kebenaran wahyu.

Sejarah awal agama adalah sebuah legenda, dan legenda itulah yang menyelimuti agama-agama. Bahkan, agama adalah kata yang tidak memiliki makna yang pasti. Agnostik tidak menganggap bahwa ada bukti akan ‘keajaiban’, dalam arti yang terjadi diluar hukum alam. Standar kebajikan, dalam pandangan kaum positivis ini, adalah logika akal semata, sehingga lebih menihilkan peran wahyu atau kitab suci. Akal berkenaan dengan masalah fakta, sebagai yang diamati, sebagai yang disimpulkan. Pertanyaan akan kehidupan akhirat dan pertanyaan akan apakah ada Tuhan berkenaan dengan masalah fakta, dan kaum agnostik berpendapat bahwa kedua pertanyaan tersebut harus dikaji dengan cara yang sama dengan pertanyaan, ‘apakah besok akan terjadi gerhana bulan?’, sehingga kebenaran itu harus dibuktikan dengan fakta positif, bukan dengan dogma wahyu.

Meski demikian, muncul respon yang mencoba menyentuh kelemahan pandangan agnostik tersebut, bahwa fakta saja tidak cukup menentukan suatu tindakan karena ia tidak mengatakan kepada kita tujuan apa yang akan kita capai. Dalam hal tujuan, yang diperlukan adalah sesuatu selain fakta. Agnostik akan menemukan tujuannya dalam hatinya dan bukan dalam ajaran langit. Respons terhadap fakta dilakukan oleh akal, tetapi untuk sebuah tujuan yang ingin dicapai oleh seorang agnotis tidak berada dalam wilayah akal, meskipun tidak bertentangan dengan akal, yaitu emosi, perasaan, dan keinginan.

Baca juga: Teologi Negatif: Upaya Filsuf Menalaran Tuhan

Sementara itu, kaum rasionalis yang lebih lunak, yang tidak berada pada posisi ekstrim fideistik maupun positivistik, tidak  mempertentangan akal dan wahyu secara absolut. Akal juga merupakan perangkat manusia untuk menyingkap kebenaran yang diwahyukan Tuhan, dan kebenaran ilahi perlu digali dan ditunjang dengan pendekatan rasional. Wahyu memberitahukan bahwa akal adalah potensi dalam manusia untuk digunakan sebagai pembukti, burhan, untuk menyingkap kebenaran yang tersirat dalam wahyu.

Pandangan yang tidak ekstrimis ini dijadikan kaedah dan landasan berfikir sehingga memberikan warna baru, bahkan dalam pemikiran keagamaan. Dalam tradisi filsafat Islam, pandangan ini mungkin dapat dilihat pada mulai terbukanya pendekatan rasional dalam penggalian hukum-hukum keagamaan. Meski demikian, perdebatan antara kaum filsuf dan mutakallimin tetap berkelanjutan karena permasalahan ini menyangkut pemahaman dan argumentasi mereka tentang konsep Tuhan, ilmu, etika, dan seterusnya. Bahkan sampai hari ini, masih ada saja ulama yang, atas nama kebenaran kitab suci, mengharamkan filsafat dalam agama, dan penggunaan akal akan menciptakan “bid’ah” dalam praktik agama.

Pandangan Filsuf Muslim

Tokoh Muslim yang mencoba mensinergikan antara peran dan fungsi mendasar akal dan wahyu dalam Islam adalah Ibnu Rusyd (Averroes). Karya monumentalnya yang membahas tentang hal ini adalah Fashl al-Maqaal baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min al-Ittishaal. Selain Ibnu Rusyd, sebetulnya ada juga tokoh lain Ibnu Taimiyah 662/ 1263 – 728/1328, yang menulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql wa al-naql (sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih al-ma’qul ‘ala sahih al-manqul).

Namun ada yang menganggap karya Ibnu Rusyd itu sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibnu Taimiyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini. Karya Ibnu Rusyd mencoba menjelaskan “hubungan” akal dan wahyu, sedang karya Ibnu Taimiyah lebih berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan “kesesuaian” antara keduanya.

Sejatinya keduanya, Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah, berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang pemikiran mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda. Ibnu Rusyd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan filsafat bertentangan dengan agama, tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama pada masa itu.

Baca juga: Kritik Imam al-Ghazali terhadap Filsafat Islam

Sesuai judul karyanya yang sering disebut juga filsafat tentang keimanan, dalam membahas masalah akal dan wahyu, Ibnu Rusyd menggunakan “prinsip hubungan” (ittisal) dimana ia mencoba mencari argumen yang memperkuat hubungan “sinergis” antara agama dan filsafat, sehingga tidak bersifat fideistik di satu sisi, dan tidak pula rasionalis absolut.

Argumentasi Ibnu Rusyd didasarkan pada peran akal untuk mendukung keyakinan-keyakinan theisme, pentingnya peran filsuf yang memiliki disiplin tentang demonstrasi rasional untuk membuktikan kebenaran-kebenaran dalam kitab suci, dan justru aktivitas berpikir semacam itu merupakan perintah Tuhan dalam kitab suci.  

Pertama: menentukan kedudukan hukum belajar filsafat, yang didasarkan pada disiplin akal manusia atau disebut “demonstrasi” atau pembuktian akali. Menurutnya, belajar filsafat adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan filosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang merupakan pertanda adanya Pencipta (arab: Sani‘), karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna ilmu kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu (shar‘i) menggalakkan aktivititas bertafakkur tentang al-mawjudat ini, maka belajar filsafat sesungguhnya diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu.

Kedua: membuat justifikasi bahwa kebenaran yang diperoleh dari demonstrasi (al-burhan) sesuai dengan kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia berargumentasi bahwa di dalam kitab suci terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal untuk memahami segala yang wujud. Karena akal atau nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat).

Hasil dari proses berfikir demonstratif yang didasari otoritas wahyu tersebut adalah pemahaman tentang kebenaran akali yang sejatinya, jika itu memang adalah kebenaran, tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang lain. Kedua tesis di atas merupakan asas bagi kesimpulan Ibnu Rusyd selanjutnya, bahwa sesungguhnya kedudukan para filsuf yang dianugerahi keunggulan dalam kemampuan akal untuk menyingkap kebenaran melalui aktivitas akali dan penyelidikan rasionalnya sangatlah mulia, selain untuk membuktikan keyakinan-keyakinan theisme (keyakinan religius) Islam, juga memberikan interpretasi rasional terhadap wahyu yang ia sebut dengan “ta’wil” atas kitab suci.

Daftar Pustaka

  • Louis Greenspan, Stephan Andersson, “Bertuhan Tanpa Agama Bertrand Russell”, Resist Book 2008.
  • Artikel  “akal dan wahyu dalam pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyah” Dr.Phil. Hamid Fahmi Zarkasyi.
  • Artikel wikipedia tentang konsep ketuhanan Anselmus dari Canterbury
  • Artikel “Rasail al Kindi al Falsafiyah”, Dar al Fikri al Arabi, Cairo, 1950. Alih bahasa: Nurcholis Madjid

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *