Agama dan Diskriminasi

Oleh: Rohmatul Izad

Tidarislam.co – Tulisan singkat ini berangkat dari satu hipotesis bahwa apakah agama memang bisa menghasilkan praktik-praktik sosial yang diskriminatif? Maksudnya, agama mendorong penganutnya untuk membedakan kelompok lain yang berbeda lalu memperlakukan yang berbeda itu tidak setara dengan dirinya sendiri.

Apakah agama memang mempunyai unsur-unsur di dalamnya yang bisa mendorong perilaku diskriminatif dalam masyarakat atau dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kita memperhatikan agama-agama pada umumnya, ketika setiap agama itu dilahirkan, sebetulnya diskriminasi itu tidak bisa dihindari.

Sebab ketika suatu agama baru muncul dan didukung oleh sekelompok orang yang meyakininya, maka mau tidak mau ia akan membedakan dirinya dengan orang luar atau kelompok lain. Lalu memperlakukan orang-orang yang berasal dari kelompok lain secara berbeda. Dari sinilah praktik diskriminatif itu muncul dan mendorong penganut agama untuk memperlakukan kelompok lain secara berbeda.

Ini menegaskan bahwa ketika setiap agama lahir, secara tidak langsung terjadi proses atau praktik diskriminatif. Sehingga kelihatan mana sasaran yang harus didekati untuk diberitakan kebenaran-kebenaran agamanya sendiri, dengan harapan orang-orang yang menerima pemberitaan ini berubah pikiran lalu pindah agama. Proses pemberitaan ini ada yang dilakukan secara damai, ada pula yang melalui paksaan.

Baca juga: Diskriminasi Konsep Agama Langit dan Agama Bumi

Praktik diskriminatif pada awal mula munculnya sebuah agama tidaklah bisa dihindari. Di samping itu, kalau kita melihat doktrin-doktrin setiap agama, begitu banyak jenis doktrin di dalamnya, dan di antaranya ada doktrin yang bersifat partikularistik. Doktrin ini menekankan keunggulan kelompoknya sendiri (superiorisme), dan memandang yang di luar sebagai orang-orang yang tidak setara.

Nah, doktrin-doktrin yang partikular ini, yang menonjolkan bangsa sendiri, umat sendiri, suku sendiri, penganut agama sendiri, dsb, tetapi menenggelamkan yang berbeda, kemudian menimbulkan praktik diskriminatif. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya cara pandang diskriminatif terhadap kelompok lain. Umumnya, diskriminasi itu terjadi pada kelompok minoritas di mana kelompok mayoritas merasa berkuasa atau superior.

Selain itu, diskriminasi memang umumnya tidak bisa dilepaskan dari agama, misalnya ketika agama bercampur dengan politik, dan politik bercampur dengan agama. Kita tahu bahwa politik itu digunakan untuk menata masyarakat tetapi juga demi untuk kepentingan kelompok yang berkuasa. Jika agama berkawin dengan politik, maka agama tertentu akan mendominasi dan menjadi penguasa layaknya politik. Dari sini lahir istilah agamaisasi politik atau juga politisasi agama.

Pertanyaannya, apakah agama memang selalu searah dengan praktik diskriminasi? Jawabannya tentu tidak, sebab, di samping adanya ajaran yang bersifat partikular, agama juga memiliki ajaran universal. Dalam konteks ini, tergantung apakah penganut agama ingin menonjolkan partikularisme atau universalisme.

Baca juga: Ahmadiyah di Manislor dan Refleksi Kasus Intoleransi Agama di Indonesia

Sebab, menonjolkan ajaran universalisme tentu akan sedikit mengurangi potensi diskriminasi terhadap suatu agama. Misalnya, menonjolkan sisi kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dsb, akan mendorong suatu agama untuk lebih setara dan fair dalam melihat kelompok-kelompok lain, yang dengannya diskriminasi bisa dihindari.

Dalam konteks Indonesia, agama non-diskriminatif sangat penting bagi masyarakat yang pluralistik. Hal ini disebabkan karena Indonesia adalah rumah bagi banyak agama, dan ada banyak sekali perbedaan-perbedaan di dalamnya. Kemajemukan sangat menuntut adanya cara pandang yang egaliter dan setara agar kita dapat hidup secara damai dan harmonis.

Rohmatul Izad. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

One thought on “Agama dan Diskriminasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *