Tidarislam.co – Agama dan kebudayaan memang merupakan dua entitas yang berbeda. Agama adalah nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan dan tertulis dalam kitab suci. Sementara kebudayaan adalah nilai-nilai atau materi produk akal budi yang berasal dari aktualisasi daya cipta, rasa, dan karsa manusia. Yang pertama bersifat samawi atau dari langit, yang kedua bersifat tabi’i atau dari alam.
Namun jika melihat pada berbagai komunitas masyarakat Muslim, kedua entitas itu sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Agama Islam, dalam proses penyebarannya, dipeluk dan diterima dengan segala unsur kebudayaan yang telah tumbuh dan diyakini oleh masyarakat setempat. Terlebih masyarakat Indonesia, yang terkenal dengan lumbung kekayaan tradisi dan budayanya.
Agama Islam mulai masuk di Indonesia konon sejak abad 7 M, dan disebarkan dengan cara-cara penghormatan terhadap kebudayaan setempat. Kini Islam diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia dengan umumnya tetap mempertahankan identitas kebudayaan lokal. Dengan balutan kebudayaan itu maka cara mempraktikkan agama Islam di Indonesia, dalam banyak hal, berbeda dengan masyarakat yang lain seperti di berbagai negara di Timur Tengah. Namun perbedaan itu hanya pada aspek-aspek atributif saja, dan tidak pada aspek-aspek yang fundamental.
Masyarakat suku Minangkabau di Sumatra Barat merupakan satu contoh yang sangat jelas bagaimana agama, dalam hal ini Islam, berpadu dengan kebudayaan dan tak terpisahkan satu sama lain. Masyarakat memeluk agama Islam, di satu sisi, tapi tidak meninggalkan nilai-nilai dan praktik-praktik kebudayaan setempat di sisi lain. Agama Islam telah menyatu sedemikian rupa dengan budaya, membentuk satu hubungan yang tak terpisahkan antara budaya yang islami dan Islam yang berakulturasi dengan budaya.
Konon ketika Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-14, masyarakat Minangkabau menerimanya dengan tangan terbuka. Sejak itu, Islam tidak hanya menjadi agama, tetapi menjadi pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari. Sementara adat yang sudah lama ada menyesuaikan diri dengan ajaran baru ini. Sementara adat Minangkabau tetap berjalan, nilai-nilai Islam mengisi banyak aspek dalam adat tersebut (AP Wadana, 2024)
Perjumpaan antara nilai-nilai agama dan pandangan hidup kebudayaan itu membentuk filosofi kebudayaan yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan sangat dijunjung tinggi, yakni:
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”
Filosofi yang sering disingkat ABS-SBK ini bermakna bahwa praktik-praktik adat tidak berdiri sendiri, melainkan bersendikan pada Syariat Agama; sementara Syariat Agama berdasarkan pada Kitab Suci. Ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Minang, praktik adat dan budaya sehari-hari tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam. Keduanya diibaratkan, dalam bahasa Minang, sebagai Adat Bapaneh, Syarak Balinduang, yakni bahwa jika adat atau kebudayaan diibaratkan sebagai tubuh, maka agama Islam adalah rohnya. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Mengapa kebudayaan masyarakat Minang menerima Islam dengan terbuka? Menurut salah satu budayawan Minangkabau yang sekaligus seorang ulama, Buya Masoed Abidin, dimana penulis pernah berdiskusi secara langsung, menjelaskan bahwa memang sejak dulu masyarakat Minangkabau telah memiliki filosofi hidup:
“Alam Takambang Jadi Guru”
Adagium ini menunjukkan bahwa filosofi hidup orang Minang bersumber dari alam. Orang Minang banyak belajar dari alam, dan menggali nilai-nilai kehidupan dari alam. Agama Islam kemudian mengajarkan bahwa alam adalah ciptaan Allah semata. Rasionalitas ini diterima dengan mudah oleh masyarakat Minang, karena ajaran Islam dinilai tidak bertentangan dengan pikiran dan keyakinan mereka. Islam kemudian semakin diterima melalui penerjemahan konsep dan ajaran lokal, atau pribumisasi. Sejak dulu masyarakat Minang terkenal dengan merantau, terutama bagi kaum laki-laki, yang kemudian dimaknai sebagai menelusuri bumi Allah. Filosofi inilah yang kemudian diberi “ruh oleh Islam”, dan menjadi etos bagi masyarakat Minangkabau.
Keterpaduan budaya dan agama Islam ini, pada akhirnya, mempengaruhi nilai-nilai praktis yang dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Minang. Prinsip yang bercorak religius, artinya sangat terpengaruh oleh doktrin Islam di satu sisi, tetapi alamiah, artinya selaras dengan etos kehidupan dan karakter umum masyarakat Minang di sisi lain. Buya Masoed Abidin menyebutkan lima nilai di antaranya:
~Mengutamakan prinsip hidup seimbang.
Prinsip ini mengajarkan bahwa kehidupan manusia harus memposisikan dua orientasi dunia dan akhirat secara seimbang. Dalam agama Islam, selain tersurat secara eksplisit dalam berbagai ayat al-Quran, keseimbangan orientasi duniawi dan akhirat itu juga seturut dengan hadist Nabi Muhammad yang terkenal: “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya” (Hadist).
~Kesadaran kepada luasnya bumi Allah.
Kebiasaan merantau bagi orang Minang, khususnya laki-laki, kemudian mendapatkan suntikan spirit dari ajaran Islam bahwa Allah menjadikan bumi mudah untuk digunakan, dan manusia diajarkan untuk menemukan aneka nikmat kebaikan-kebaikan (fadilah) Tuhan yang terhampar di bumi yang luas. Namun demikian, dalam merantau tetap dibutuhkan sikap kehati-hatian.
~Mencari nafkah dengan “usaha sendiri”.
Merantau untuk mengais rizki Allah berarti mencari nafkah dengan usaha mandiri (self help) dengan segenap daya yang dimiliki. Secara tidak langsung, ini juga menunjukkan jati diri orang Minang, karena kemandirian adalah keutamaan (virtue) yang sangat dijunjung tinggi, terutama bagi seorang laki-laki. Membangun kemandirian dengan modal sederhana, dalam pandangan mereka, lebih terhormat daripada hidup meminta-minta dan menumpu beban kepada orang lain.
~Kesadaran kepada ruang dan waktu.
Agama Islam telah membangkitkan kesadaran kepada ruang dan waktu, misalnya tentang peredaran bumi, bulan, dan matahari, yang dengan itu menyebabkan pertukaran malam dan siang, dan pertukaran musim, sehingga memudahkan manusia dalam perhitungan bulan dan tahun. Menyia-nyiakan waktu akan menjadikan orang akan merugi. Ini menjadi etos bahwa kehidupan harus diisi dengan amal berguna, dengan bekerja dan beramal.
~Kepandaian mengendalikan diri.
Ada ungkapan Minang: “Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”. Artinya bekerja sepenuh hati, dengan mengerahkan semua potensi yang ada, tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai, dan tidak berakhir sebelum benar-benar sudah. Namun di tengah itu, Islam mengajarkan pengendalian diri, agar tidak melewati batas dan berlebihan, sikap boros menghamburkan harta yang sudah didapatkannya.
Demikianlah corak “Islam Berkebudayaan” masyarakat Minangkabau, bahwa agama (Islam) dan budaya (Minangkabau) telah mengalami perjumpaan dan membentuk sitensis yang saling kuat mempengaruhi satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa beberapa pihak di Sumatra Barat kini memikirkan perlunya menyandang status daerah keistimewaan di Sumatra Barat mengingat karakteristik religius dan berbudaya yang dimiliki.
Hubungan tak terpisahkan ini tampak lebih jelas dalam praktik-praktik adat Minangkabau yang banyak lagi, seperti dalam pernikahan, pemerintahan, kekerabatan, dan lain-lain. Meski demikian, bukan berarti belum pernah terjadi gesekan dalam hubungan agama dan budaya di Minangkabau, terutama ketika menguatnya faham keislaman yang lebih puritan di masa silam.
Hal ini pula yang sepertinya mempengaruhi banyaknya tokoh-tokoh bangsa dari Minangkabau seperti Mohammad Natsir, Mohammad Hatta, Agus Salim, Buya Hamka, yang meski menampung aspirasi nasionalisme atau kebangsaan, tetapi tetap memperhatikan inspirasi religius dalam sejarah bangsa kita.
Sekalipun demikian, kini banyak kalangan yang mulai khawatir, bahwa perubahan sosial dan budaya akibat dari kemajuan zaman yang tak terelakkan, akan dapat mengakibatkan perubahan pola pikir, terkikisnya ikatan nilai-nilai tradisional, dan implementasi nilai-nilai budaya yang tak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur, terutama ketika dihadapkan pada problem pragmatisme ekonomi dan kekuasaan. Tak terkecuali Budaya Minangkabau. Wallahua’lam.
Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, sedang melakukan penelitian tentang Islam dalam budaya Melayu.
Baca juga artikel terkait:
3 thoughts on “Filosofi “Islam Berkebudayaan” Masyarakat Minangkabau”