Pendidikan, Perubahan Masyarakat, dan Orientasi Tata Nilai Islam: Sebuah Situasi Masalah*

Oleh: Dr. M. Habib Chirzin
Balai Pendidikan Pesantren Pabelan

Pergumulan abadi.

Pendidikan, baik dalam pengertian sebagai proses konservasi yang berupa pemeliharaan, pelestarian, penanaman, dan pewarisan kebudayaan antar-generasi, maupun sebagai proses “kreasi” yang berupa penciptaan, penemuan, dan pengembangan serta peningkatan kebudayaan manusia, merupakan proses pergumulan abadi manusia dalam kebudayaan dan proses membudayakan. Proses membudaya ini terdiri atas tiga “momen historis” yang berupa proses “externalisasi” di mana jiwa (roh) manusia yang menjasmani melakukan internalisasi dengan melahirkan karya cipta, rasa dan karsanya dalam bentuk benda, lembaga, sistem-sistem sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan berikut pranata-pranatanya yang dengannya ia membangun dunianya. Dunia obyektif yang dibangun adalah berupa kebudayaan, yang dengannya manusia hidup dan memperoleh makna dari hidupnya dan karyanya sebagai proses “obyektivasi”.

Akhirnya hasil kebudayaan tersebut diinternalisir kembali ke dalam diri manusia dan kepribadiannya, yang memberinya “cap budaya” atau “sibghah” dan kekayaan makna dan nilai baginya. Dengan demikian, proses mempribadi dan membudaya merupakan pergumulan manusia dengan sosialitasnya, materialitas (kosmologis), dan trensendensinya, yang berarti pula pergumulan manusia dengan dirinya.

M.M. Sharif, presiden dari Pakistan Philosophical Congres dan direktur Institute of Islamic Culture menyebutkan bahwa:

Masalah pendidikan merupakan “the perennial question”, pertanyaan umat manusia yang abadi, yang selalu hadir dalam setiap perkembangan kebudayaannya. Bahkan hadir dalam kesegaran permasalahannya yang terus berkembang dan berubah sehingga tidak mungkin dilakukan suatu pemecahan masalah secara tuntas dalam detail persoalannya untuk sepanjang zaman. Hal itu karena masalah pendidikan adalah masalah “manusiawi” yang bersifat unik dan kadang-kadang misterius, karena manusia adalah makhluk yang bermartabat, memiliki kesadaran, dan penyadaran diri. Manusia yang sebagaimana disebut oleh orang filsuf sebagai “physically and biologically finished” tetapi “morally unfinished”.

Selain itu, manusia yang dalam perkembangannya alami, ia dapat melawan arus itu; ia tidak hanya dihanyutkan oleh proses alam, tetapi juga oleh hati nuraninya. Manusia tak hanya mengevaluasi dan menilai alam sekitarnya tetapi juga alamnya sendiri. Evaluasi tersebut dilakukan lewat daya-dayanya yang bersifat rohani yang berupa akal budi, kesadaran moral, keyakinan religius, kesadaran sosial dan tanggung jawabnya. Hal ini karena manusia adalah makhluk historis dan keberadaannya sekaligus merupakan “tugas dan tantangan historis”.

Diri dan hidupnya manusia merupakan tugas untuk pemenuhan diri manusiawi (human fulfillment), penyadaran diri (self awareness), penemuan identitan diri (self identity), pendefinisian diri sebagai pribadi yang bermartabat (self definition) dan pembebasan diri dari keterbelakangan, kekurangan ketergantungan (self liberation). Dan itu adalah proses pendidikan.

Sebagaimana pribadi manusia tidak boleh hanya dilihat sebagai “realitas abstrak” tetapi sebagai realitas dan tantangan historis, maka pendidikan pun tidak dapat sekedar diderivasikan dan dideduksikan dari idealisasi tentang manusia mau pun filsafat tentang manusia yang berupa rumusan yang aprioristik. Sebab idealisasi dan abstraksi dalam alam kesadaran dan pemikiran tidak akan menjadi kesadaran dan pemikiran yang penuh apabila tanpa tindakan kongkrit (amaliyah). Demikian pula tindakan konkrit tidak akan menjadi penuh apabila tanpa penyadaran dan refleksi. Maka pendidikan harus merupakan proses yang bersifat praktis yang terpadu di dalamnya antara proses idealisasi dan refleksi dengan tindakan kongkrit antara iman dan amal sholeh, atau “ilmu amaliyah” dan “amal amaliyah”.

Demikian pula dalam proses pendidikan tidak dapat dipisahkan antara personalitas dan sosialitas manusia, antara dimensi otonomi dan korelasi, dan antara faktor indogenius dengan exogenous. Oleh karena itu, membicarakan masalah pendidikan harus disituasikan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya suatu masyarakat.

Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh M.M. Sharif, bahwa dalam menanam padipun harus dipertimbangkan kondisi tanah, pengairan, cuaca atau iklim, musim, teknik, alat, tenaga kerja, posisi penawaran dan permintaan di pasaran, dan juga perlunya persediaan stok pangan secara nasional. Apalagi masalah pendidikan ini adalah masalah manusia, makhluk sosial dan berbudaya.

Maka makalah singkat ini akan mencoba mensituasikan masalah pendidikan dalam konteks masyarakat yang sedang berubah (to situate the problem) dan kemudian mencoba mengorientasikannnya kepada tata nilai Islam.

Pendidikan dalam masyarakat yang sedang berubah.

Salah satu fenomena yang menarik untuk diamati dan dikaji sebagai bahan refleksi dan kritik diri pada kesempatan ini adalah: terjadinya berbagai perkembangan dan perubahan yang begitu pesat dan kadang-kadang bersifat fundamental dalam teori pembangunan dan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta timbulnya kesadaran baru tentang masalah nilai dan penghayatan terhadap dimensi transendental, serta kesadaran tentang peninjauan kembali dan penataan kembali berbagai struktur sosial berikut tatanilai budayanya baik yang berskala nasional maupun regional dan internasional.

Perubahan-perubahan ini sesungguhnya untuk sebagiannya telah diramalkan antara lain oleh filsuf dan sejarawan besar Arnold Toynbee dan Spengler lewat analisa sejarah dan kebudayaan. Dan pada saat ini, semuanya itu telah menjadi lebih nyata dan jelas (eksplisit) dengan berbagai analisa mutakhir yang dilakukan oleh berbagai tim dan panitia maupun pribadi-pribadi dengan mempergunakan alat hitung yang ampuh (computer), bahwa untuk menghadapi problem umat manusia yang semakin rumit, meluas, dan mendalam diperlukan pengembangan tata nilai baru, cara-cara serta pranata-pranata baru.

Pada dekade 1980-an dan menjelang tahun 2000 yang akan datang masyarakat berada di dalam periode transisi kultural yang penting bagi perkembangan peradaban dan kemanusiaan pada umumnya. Alam pikiran relativisme yang menjadi corak dan pola berpikir rasionalisme dan positivisme yang telah mengantarkan masyarakat modern ke arah revolusi industri, revolusi sosial, revolusi ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kini dilihat oleh para ahli sebagai telah mencapai pada titik jenuh bahkan sampai pada suatu titik balik yang cukup gawat.

Menghadapi kenyataan ini, para ahli dan para pengambil kebijaksanaan (policy maker) mulai meninjau kembali pengandaian-pengandaian lama, pandangan-pandangan dan cara-cara lama, dan kemudian mulai menyusun strategi maupun tatanan baru. Termasuk di dalamnya peninjauan kembali terhadap sistem pendidikan. Peninjauan kembali terhadap sistem yang sedang berkembang dan penyusunan strategi serta tatanan baru tersebut tidak saja beraspek kwantitatif saja, tetapi juga beraspek kwalitatif. Oleh karena itu, pendekatannya pun tidak terbatas pada ilmu positif saja, tetapi juga pada taraf metafisis.

Oleh karena itu, sangatlah relevan untuk dilakukan upaya pencaharian akar masalah pendidikan kepada tata nilai yang mendasarinya, landasan filsafat baik yang berupa epistemologi maupun pandangan kosmologinya; di samping menganalisa kembali struktur sosial, ekonomi dan politik yang telah menciptakan pendidikan sebagai sub kultur ketergantungan dan kultur penjinakan serta dominasi.

Perubahan-perubahan persepsi yang telah menyadarkan para ahli untuk mencari alternatif-alternatif yang berupaya menyusun paradigma baru dalam masalah sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang di dalamnya termasuk paradigma baru dalam pendidikan, semakin jelas apabila dilihat telah terjadinya perubahan persepsi di dalam tiga hal sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Dr. Rajni Kothari dalam karyanya yang berjudul “Environment and Alternative Development” (1980). Perubahan-perubahan persepsi tersebut antara lain menyangkut “gejala kesalinghubungan” antara berbagai persoalan yang semula dilihat sebagai terpisah antara problem kemiskinan dan pincangan sosial dengan sistem kekerasan (violence), dominasi, dan eksploitasi; antara polusi dan pencemaran lingkungan hidup dengan sistem ekonomi yang ekspansionis; antara hubungan ketergantungan pusat-pikiran (centre-periphery) dengan sistem teknologi yang mengandung kode ekonomi dan nilai kognitif; antara sistem politik yang represif di dunia ketiga dengan orde ekonomi internasional yang dikuasai oleh MNC; dan kesemua gejala tersebut di atas mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan struktural.

Perubahan persepsi selanjutnya menyangkut “skala persoalan” di mana pada masa lalu berbagai persoalan dipikirkan dan dipecahkan dalam kerangka tata sosial lingkungan masyarakat tertentu atau antara dua tiga kelompok masyarakat yang sama-sama terlibat. Kini, persoalan umat manusia dipikirkan untuk pertama kali dalam ruang lingkup dunia.

Pola umum dari sistem kekerasan, dominasi, dan eksploitasi telah menjadi membuana dalam ruang lingkupnya. Filsafat hidup rasionalisme, positivisme, scientisme, atau utilitarianisme yang telah mempengaruhi dan menguasai manusia serta yang telah menciutkan dunia dan juga sistem ekonomi yang telah mendorong pertumbuhan produksi dan konsumsi tanpa batas, kesemuanya telah memungkinkan menyatunya persoalan umat manusia menjadi masalah buana.

Kemudian perubahan persepsi itu menyangkut “penilaian terhadap hal-hal yang sesungguhnya terjadi” seakan-akan menimbulkan kesadaran baru, seperti sesuatu telah ditemukan kembali. Pada mulanya yang terlihat seolah-olah hanya ada kemajuan material yang dahsyat, namun kemudian ternyata ada kelaparan dan kemiskinan  pada sebagian besar penduduk dunia atau penduduk suatu negara. Bantuan dan pengalihan teknologi dan sumber-sumber ekonomi pada mulanya dianggap menguntungkan negara-negara berkembang, ternyata kemudian menjadi alat penguasa sumber-sumber nutrisi, energi dan surplus dari daerah pinggir pusat-pusat metropolis dan daerah-daerah maju makmur.

Itu semua menimbulkan pertanyaan: mungkin ada sesuatu yang pada dasarnya salah secara fundamental tentang model hidup yang telah diciptakan oleh manusia modern. Oleh sebab itu, mata pencaharian alternatif terhadap sistem dan model kehidupan yang secara fundemetal salah dan telah diciptakan oleh manusia modern selama 200 tahun terakhir ini, sebagaimana yang disinyalir oleh Prof. Rajni Kothari tersebut, harus juga secara fundamental sifatnya. Termasuk di dalamnya masalah pendidikan yang antara lain telah dicoba dilakukan oleh International Islamic Conggress di Jeddah dua tahun yang lalu dan juga pencaharian Tata Dunia Baru dalam hubungannya dengan Islam (Islam and the New World Order) di Tokyo pada bulan Juli 1981.

Dengan demikian, sudah saatnya secara struktural agama memerankan fungsi kritis, profetis dan liberatifnya dengan melakukan pembongkaran-pembongkaran terhadap tata nilai lama yang “mungkar” dengan tata nilai baru yang “ma’ruf”.

Apabila fenomena di atas dicoba diproyeksikan ke dalam dunia pendidikan, maka nampak sesungguhnya perguruan-perguruan tinggi yang ada selama ini merupakan kelanjutan dari warisan kolonial yang bermula dari Ethische Politiek, yang bercirikan orientasi kepada pemenuhan kebutuhan administrasi pemerintah dan birokrasi dengan sifat pendidikannya yang intelektualistik. Setelah terjadinya de-kolonisasi secara formal, maka pengisian kemerdekaan kemudian dilangsungkan oleh kelompok menengah yang kebanyakan bekas birokrat kolonial yang kedudukannya tergantung dan tidak bebas. Mereka tergantung karena peranan sosialnya terletak pada struktur sosial dan struktur ekonomi kolonial. Mereka tidak memiliki kekuatan ekonomi sendiri, tak terlibat dalam proses produksi secara langsung. Kebanyakan mereka berkonsentrasi di kota-kota besar dan tidak berakar pada kehidupan nyata pada rakyat umumnya.

Demikian pula para sarjana tamatan perguruan tinggi, mereka tidak memiliki kunci-kunci kekuatan ekonomi bekas-bekas penjajahan, tidak juga berhasil melakukan penemuan dan inovasi yang orisinil yang berperan kuat dalam sektor pribumi. Jauh dari kemampuannya untuk dapat menciptakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia yang baru merdeka, tetapi justru kaum sarjana ini malah harus dicarikan tempatnva dalam ekonomi bekas jajahan tersebut.

Model pendidikan kolonial ini kemudian pada tahun-tahun enam puluhan dikombinasikan dengan sistem-sistem dari Amerika maupun Inggris setelah banyak para sarjana yang memperoleh pendidikan pascasarjana di tempat-tempat tersebut. Kemudian ketika Indonesia pada tahun-tahun berikutnya mengintegrasikan dirinya di dalam sistem dunia, atau minimal melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya internasional, maka hal ini antara lain telah menghasilkan kelompok-kelompok elite Indonesia yang berciri metropolitan.

Lebih dari itu, sebagian dari elite nasional yang tumbuh mungkin telah menjadi, atau merasa sebagai bagian dari elite metropolitan, bahkan sebagian dari elite sekunder pada tingkat lokal. Sehingga sadar atau tidak sadar, dan langsung atau tidak langsung, mereka mempunyai kaitan dengan elite metropolitan, dan dengan demikian mereka menjalankan fungsi dan peran yang sejalan dengan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa dalam struktur ekonomi, politik dan kebudayaan dunia. Dengan demikian, universitas yang merupakan lembaga yang memelihara dan melangsungkan kepentingan elite nasional berada di dalam struktur ketergantungan (dependensi) dengan kepentingan-kepentingan yang berkuasa dalam sistem ekonomi, politik dan kebudayaan dunia.

Ketergantungan di bidang ekonomi sangat erat hubungannya dengan keterikatan politik. Negara-negara Barat berkepentingan agar situasi politik di Indonesia cukup stabil, untuk itu diperlukan adanya rezim politik yang kuat, sehingga kepentingan ekonomi, yaitu adanya iklim yang favourable dan murah bagi menanam modal serta hubungan perdagangan internasional yang bebas, dapat dilindungi. Universitas dalam rezim politik semacam ini harus tunduk terhadap kebijaksaan pembangunan (development regime), karena tradisi otonomi belum membudaya dalam universitas di Indonesia.

Agar kebijaksanaan politik tersebut dapat berjalan, maka universitas perlu dikuasai dan karena itu perlu dimasukkan ke dalam struktur kekuasaan, agar dapat melayani kebutuhan pembangunan. Sementara itu proses pembangunan telah pula menumbuhkan sikap dan rangsangan pola konsumsi yang berlaku di negara-negara maju, sehingga mengakibatkan tuntutan-tuntutan gaya hidup kita yang mempengaruhi tingkat gaji dan rangsangan material pada tenaga pengajar dan administrasi universitas, serta fasilitas semakin mahal dan hanya dapat dimasuki oleh anak-anak dari golongan kaya dan berpenghasilan cukup. Selain itu, ia juga menumbuhkan aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai elit perkotaan kepada para mahasiswanya sehingga terjebak pada komersial kapitalis.

Dari beberapa gambaran di atas, maka membicarakan tentang masa pendidikan harus pula dilakukan dalam kerangka pembebasan dari belenggu ketergantungan dan dominasi serta pencaharian alternatif budaya yang lebih menjanjikan otonomi, kebebasan, dan independensi. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan-kegiatan advokatif, advokasi pendidikan yang mampu menemukan, mengangkat, membela ide-ide, dan model-model pendidikan yang membebaskan.

Advokasi di bidang pendidikan dan pencaharian alternatif perlu dilakukan agar universitas dapat berfungsi sebagaimana mestinya seperti yang digambarkan oleh Prof. Dr. Ir. H. Tb Bakhtiar:

  1. Perguruan tinggi adalah pusat kreatif yang mengantisipasikan masa depan dengan sense of purpose, sense of mission and sense of commitment, serta yang menyumbang kepada kemajuan intelektual dan sosial.
  2. Perguruan tinggi bukanlah pembela ide-ide usang pusat konformitas intelektual atau sekelompok gedung tanpa jiwa.
  3. Pembangunan adalah pertumbuhan disertai perubahan-perubahan yang mencakup segi-segi sosial, kultural, dan ekonomi, yang meliputi aspek-aspek kwalitatif dan kwantitatif.
  4. Proses modernisasi mensyaratkan perubahan-perubahan sosial dan psikologis dengan beberapa perangkat nilai yang lebih sesuai dengan keadaan politik, ekonomi, dan struktur sosial yang baru.
  5. Perguruan tinggi hendaknya mampu menghasilkan perancang perubahan (change designer) dan pendorong perubahan (change pusher) yang berjiwa entreprenuer dan inovator.

Orientasi baru dalam pendidikan.

Dalam situasi budaya global yang bersifat exploitatif dan dominatif, di mana pendidikan telah terjebak menjadi subkultur, diperlukanlah orientasi baru dalam pendidikan. Gunnar Myrdal, ekonom yang menulis buku The Asian Drama mengatakan bahwa telah terjadi “miseducation” (pendidikan yang salah). Misedukasi ini bukannya disebabkan oleh kurangnya guru, tetapi oleh orientasi. Sementara itu RK Merton telah mensinyalir jadinya “ritualisme” dalam bidang pendidikan. Bahkan Ivan menyatakan bahwa pendidikan telah menjadi alat “penjinak” (mesticating), “pembinaan” atau “pembungkaman” (silencing) yang menciptakan budaya dalam “culture of silence” dan sekaligus melakukan penindasan (oppression). Sementara itu pula pendidikan tinggi disinyalir semakin bersifat elitis, yakni: tidak berakar pada budaya masyarakat (uprooted), acuh terhadap problem masyarakat bawah (indifferent), dan terasing dari lingkungan sosial budayanya (alienated).

Dalam kerangka situasi semacam itulah pembinaan dan perjuangan mahasiswa dilakukan, baik mahasiswa sebagai subyek pendidikan yang merupakan bagian dari keseluruhan civitas academica, mahasiswa sebagai intelektual (calon), dan juga sebagai anggota masyarakat luas. Beberapa hal yang perlu dilakukan pada saat ini antara lain:

  1. Penajaman analisa (to sharpen the analyses) terhadap masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang melingkupi situasi pendidikan di Indonesia, dalam kaitannya dengan budaya global.
  2. Penajaman analisa terhadap model-model pendidikan yang bersifat elitis dan exsploitatif dan dominatif, dan mencari orientasi baru kepada model pendidikan yang membebaskan dalam suasana yang dialogis dan partisipatif.
  3. Penajaman analisa terhadap tujuan hakiki dari pendidikan dan tujuan dari perjuangan kehidupan mahasiswa, dengan mengkaitkan proses pendidikan dengan pembangunan masyarakat yang terpadu dan pembebasan masyarakat dari kemiskinan struktural, rohaniah, dan jasmaniah.
  4. Peneguhan komitmen dan keprihatinan (to strengthen the commitment and concern) terhadap cita-cita perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki, keadilan, kemakmuran dan perdamaian bersama.
  5. Melakukan kegiatan-kegiatan aksi sosial yang lebih kongkrit bersama-sama masyarakat yang menjadi target bersama untuk mendengarkan dan belajar dari mereka dan bersama-sama melakukan identifikasi kebutuhan, dan bersama-sama mereka merencanakan program aksi sosial untuk melakukan emansipasi diri, penyadaran diri, dan pembebasan diri. Untuk ini diperlukan dedikasi dan komitmen yang sungguh-sungguh terhadap nasib rakyat kecil yang tertinggal dalam lajunya proses pembangunan material dan juga mereka yang menjadi korban dari pembangunan tersebut, ataupun mereka yang terlupakan (the neglected people); yang mana sesungguhnya mereka itulah yang paling membutuhkan pembangunan (the most needy people).

Untuk itu, maka pembinaan dan perjuangan mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) membutuhkan suatu pola pembinaan yang sistematik dan terintegrasikan dalam keseluruhan perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia. Dalam waktu yang sama harus menyusun suatu sistem yang berdasarkan ajaran Islam universal dan eternal, tetapi sekaligus ia harus merupakan respon terhadap masalah-masalah kongkrit yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Pada satu ketika kita harus kembali menghayati nilai-nilai ajaran Islam, menukiki kembali keprihatinan terdalam dari Risalah Islamiyah dan Bi’tsatur Rasul serta melakukan refleksi-refleksi teologi, tetapi sekaligus kita harus melihat realitas sosial dan historis masyarakat Indonesia yang sebagiannya masih hidup pada taraf subsisten dan bahkan di bawah garis kemiskinan absolut.

Proses aksi-refleksi ini merupakan proses yang berkelanjutan terus (the on going process) bahkan merupakan proses yang tidak pernah berhenti (never ending prosess). Dan dalam the on going process itulah sesungguhnya kita melakukan pembinaan diri dengan melakukan penyadaran diri (awareness building) terhadap situasi yang melingkupi kita, terhadap kebutuhan dan potensi kita, dan disanalah kita melakukan peningkatan kemampuan analisis, perencanaan sosial, manajemen konflik, dan pengendalian suatu program aksi yang bersifat tranformatif. Dalam proses ini pula terjadi proses peningkatan kesadaran dan kwalitas pribadi, dan peneguhan komitmen serta transformasi sosial secara bersama-sama.

Sesungguhnya kita telah memiliki potensi potensi-potensi sosial dan intelektual yang cukup. Masalahnya adalah bagaimana kita me-manage semua potensi tersebut sehingga menjadi kekuatan yang riil yang mampu memperbaiki keadaan. Berbagai makalah dan bahan ceramah dari Dr. H. Amien Rais, MA, Dr. Kuntowijoyo, Drs. H.M. Djasman, Drs. Syaifullah Mahyuddin, dan lain-lain dapat terus dikembangkan dan dilakukan studi pendalaman terhadapnya (indepth study), yang kemudian dipadukan dengan pengalaman kongkrit dari mereka yang melakukan aksi sosial di tingkat akar rumput (grass root evel) untuk dicerna dan diolah kembali dengan metode-metode yang tajam dan dilengkapi dengan data-data mutakhir yang berasal dari penelitian kancah (participatory/grass ot research), kemudian dioperasionalkan di dalam berbagai program rintisan baik bagi peningkatan kwalitas mahasiswa maupun bagi perbaikan struktur kehidupan kampus maupun sebagai program aksi sosial di tengah-tengah masyarakat.

Dengan mengorientasikan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi serta seluruh nilai Islam, dan menghadapkannya kepada realitas sosial dan historis yang kongrit dalam proses akal-refleksi inilah mahasiswa akan menemukan kembali orientasi nilai dasar kehidupan dan perjuangannya serta relevansinya dengan situasi dan tantangan zamannya. Upaya ke arah inilah yang tengah kita lakukan sekarang.

Yogyakarta, 9 November 1981

Referensi:

  • Sharif, M M, Islamic and Educational Studies, Institute of Islamic Culture, Lahore, March 1964.
  • Faruqi, Ismail R, Islam and Culture, Angkatan Belia Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1980.
  • Hakim, Khalifa Abdul, Dr., Islamic Ideology: the Fundamental Beliefs and Principles of Islam and their Application Life, Institute of Islamic Culture, Lahore, 1961.
  • Rahardjo, M. Dawam, Peranan Universitas dalam Perubahan Masyarakat Mencari Bentuk Pendidikan Tinggi yang lebih Berwajah Indonesia”, Makalah Panel Diskusi 25 th, Fak. Ekonomi UGM, 18 September 1980.
  • Rifai, H.TB Bachtiar, Prof, DR, Ir, “Peranan dan Keterlibatan Perguruan Tinggi/Mahasiswa dalam Masyarakat: Suatu Dasar Fikiran”, Kertas Kerja pada Diskusi Besar Perguruan Tinggi Kini dan Besok, Bandung, 18 Mei 1972.

* Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar: “Mencari Paradigma Baru Pola Pembinaan Mahasiswa UII Kini dan Esok”, di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, tanggal 7 s/d 11 November 1981.

 

Baca juga artikel terkait:

Moeslim Abdurrahman: Penggagas Islam Transformatif
Yang Santai, Kritis, dan Radikal: Sebuah Pengenalan kepada Dunia Filsafat
Keberanian untuk Beriman

2 thoughts on “Pendidikan, Perubahan Masyarakat, dan Orientasi Tata Nilai Islam: Sebuah Situasi Masalah*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *