Oleh: Dr. M. Habib Chirzin
Balai Pendidikan Pesantren Pabelan
“Easy going life“
Dalam kehidupan yang berlanggam “santai “, orang sering begitu saja mengadaikan suatu pernyataan (statement) atau pendapat (opinion) yang didengar atau dibacanya, sebagai “benar” (true). Demikian pula, ia sering begitu saja menganggap hal-hal yang ia lihat, alami atau ia jumpai sebagai “nyata” (real), serta perbuatan dan tingkah laku berikut motif-motif orang disekitarnya sebagai “baik” (good). Semuanya itu terjadi tanpa usaha lebih lanjut untuk meneliti secara kritis ataupun usaha untuk menelusuri penalaran (reasoning), mengaji alasan dan mencari bahan bukti yang menetapkan kebenaran, kenyataan dan kebaikannya. Jadi, semua itu diterimanya dengan begitu saja! Bahkan terhadap terhadap program-program atau tanggung jawab yang ia jalankan, misalnya terhadap program studi atau program pembangunan yang ia sendiri terlibat di dalamnya, ia menerimanya sebagai “nasib” yang memang harus diterima atau dialaminya (dengan sikap pasrah yang pasif).
Memang dalam kehidupan masyarakat terutama yang awam orang sering bersikap “easy going life“, sehingga menghadapi berbagai hal mereka bertindak “nggampangke” dan “sembrono“; bahkan sampai ke taraf indifferent. Ia merasa lebih enak dan gampang untuk tinggal percaya dan mengikuti suatu pendapat, daripada berusaha untuk mengarahkan dirinya sendiri secara sadar dan bertanggung jawab, dengan memberikan tanggapan yang kritis, berdasar analisa yang mendalam dan teliti. Sehingga tidak jarang, apa yang semula dianggapnya sebagai “benar”, “nyata” dan “baik” itu berhakekat sebaliknya. Ia wegah berpikir, apalagi berpikir secara filsafati (a philosophical thought) yang kritis dan radikal. Sikap santai yang demikian, memang nampak lebih gampang dan lebih enak. Tetapi kemajuan dan kematangan manusia hanya dapat dicapai berdasar sikap yang bertanggung jawab, pengenalan dan penyadaran diri, penanggapan yang kritis dan pemikiran yang mendalam dan meluas (intensif, extensif, kritis, radikal dan universal). Dan itulah yang dilakukan oleh filsafat.
Apa pula yang dilakukan oleh filsafat?
Untuk sementara orang, apakah sebenarnya filsafat itu dan apa pula yang dilakukan olehnya, masih menjadi pertanyaan. Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan tersebut, bukan suatu pekerjaan yang mudah. Tetapi untuk sementara dapat dikemukakan bahwa filsalat adalah refleksi manusia yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya (intensif dan extensif; radikal dan universal) atas segala yang ada (dalam dimensi kosmologis, antropologis dan dimensi transendental), untuk mencari realitas dasar yang paling hakiki daripadanya, yang dilakukan secara metodis dan sistematis (Dr. AH. Bakker, Metafisika, BP Fak Filsafat UGM, 1973 al 1 dan Drs. Jacques Venger MSF, Epistemologi, Yogyakarta, 1970).
Dalam arti tertentu, filsafat tidak lain adalah usaha mencari kejelasan (validasi) dan kenyataan (reality) secara cermat, gigih dan radikal yang dilakukan terus-menerus. Filsafat memang merupakan kegiatan yang sangat radikal dalam menggunakan kesanggupan berpikir. Filsafat berusaha untuk menemukan “radix” atau akar dari kenyataan yang fundamental. Yaitu, akar kenyataan dari alam, pengetahuan tentang diri manusia sendiri dan dimensi transendental. Apabila akar, asas yang paling fundamental itu dapat dimengerti, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. RF. Beerling dalam bukunya Filsafat Dewasa Ini, segala yang berakar pada akan dapat dimengerti pula.
Filsafat atau penenungan kefilsafatan berusaha untuk menyusun suatu bagan konsepsional. Pengertian (konsep) adalah hasil dari penyamarataan (ta’mim, generalisasi) dan abstraksi (tajrid) dari pengalaman tentang hal-hal dan proses-proses dalam hubungan yang umum (‘aam). Di antara proses-proses yang dibahas adalah berpikir itu sendiri dan di antara yang dipikirkan adalah si pemikir itu sendiri. Dalam arti kata lain, perenungan kefilsafatan adalah usaha untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang saling berhubungan, yang konsepsional dan memenuhi syarat untuk memahami dunia di mana kita berada maupun memahami diri kita sendiri (Prof. L. Kattsoff, Unsur-unsur Filsafat, alih bahasa Drs. Soejono Soemargono, BP. Fak. Filsafat UGM, 1969, p.7).
Sering disebut bahwa ilmu pengetahuan (ilmu positif) memberi penjelasan tentang fakta-fakta pengalaman empiris. Tetapi filsafat berusaha untuk memperoleh kejelasan tentang ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebenarnya filsafat (metafisika) meliputi bidang yang lebih luas lagi, yaitu berusaha untuk yang ada (being, sein, esse), termasuk diri manusia sendiri. Menurut sudut pandangan ini, filsafat mencari kebenaran yang hakiki tentang segala suatu dalam bentuk umum; jadi sistem filsafat itu bersifat komprehensif (universitas).
Dalam arti tertentu, filsafat merupakan suatu metode analisa secara teliti terhadap pembuktian-pembuktian mengenai suatu masalah dan penyusunan secara sadar dan sistematis suatu sudut pandangan yang menjadi dasar dari suatu tindakan. Jadi kegiatan filsafat berupa perenungan dan pemikiran. Yaitu perenungan yang meragukan (keragu-raguan metodologis), mengajukan pertanyaan, menghubungkan, menanyakan “mengapa”, mencari jawaban yang lebih baik daripada jawaban yang tersedia pada pandangan yang pertama. Filsafat sebagai suatu perenungan (kontemplasi), mencari keruntutan (konsistensi), kejelasan (evidensi) dan terpenuhinya syarat pengetahuan, agar kita dapat memahami dengan baik. Dilihat dari segi ini, filsafat adalah pemikiran yang sangat kritis tetapi filsafat juga berusaha untuk bersifat konstruktif; yaitu membangun pandangan dunia (world view, weltanschauung) secara spekulatif metafisis (ibid).
Pemikiran kefilsafatan, dengan demikian, sering merupakan persiapan yang terbaik bagi dilakukannya perbuatan yang positif. Spekulasi kefilsafatan memperkuat serta memberikan horison dan arah kepada ilmu positif dan teknologi. Demikianlah, maka filsafat adalah suatu penerangan tentang pengetahuan kita, tentang metode-metode untuk mencapai pengetahuan serta tentang arti yang dikandungnya atau suatu perenungan yang mengusahakan suatu pandangan dunia (worldview) yang menyebabkan hidup ini mengandung arti dan layak diperjuangkan. Seseorang yang berpikir secara demikian, tidak akan mudah untuk dikibulin oleh para agitator, demagog, bakul jamu dan dukun-dukun peramal nasib.
Pertanyaan filsafati terhadap pembangunan
Terhadap pembangunan yang tengah dilakukan oleh bangsa Indonesia (PELITA) ataupun oleh PBB, United Nations Development Programmes misalnya, filsafat dapat memberikan kontribusinya lewat pertanyaan-pertanyaan yang radikal dan universal dan lewat usahanya untuk menyusun bagan konseptual dari suatu pandangan dunia (weltanschauung) yang mendalam dan luas sebagai dasar dan arah dari kebijaksanaan pembangunan.
Misalnya, filsafat berusaha merumuskan suatu pertanyaan terhadap konsep pembangunan manusia dan masyarakat yang dihasilkan oleh ilmu positif: Apakah dasar, tujuan dan cara pelaksanaan pembangunan yang kita tentukan dan kita tempuh itu sudah benar? Apakah sebenarnya arti pembangunan itu bagi manusia? Apakah benar bahwa status sosial dan ekonomi itu lebih penting dari keadilan sosial? Apakah manusia harus menyerah dan tunduk oleh situasi yang mengitarinya bahkan mungkin situasi yang korup, mewah, immoril dan tidak adil? Apakah pembangunan itu merupakan “nasib” yang harus diterima atau apakah ia adalah upaya dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh manusia sebagai subyek yang sadar, aktif dan bertanggung jawab? Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan filsafati bersikap kritis dan etis, supaya kita melakukan suatu tindakan dan kebijaksanaan yang benar dan baik dengan adil dan jujur.
Menghadapi kenyataan di dalam masalah kesempatan kerja (employment), keadilan sosial, inisiatif dan kreatifitas lokal, kesadaran untuk berswasembada, pemilihan teknologi yang tepat dan berbagai pertanyaan yang berkisar di seputar arti dan nilai pembangunan bagi manusia, menimbulkan suatu pertanyaan: apakah tidak dapat disusun strategi pembangunan yang lebih cocok untuk masyarakat dan bumi Indonesia serta lebih manusiawi?
Kesadaran baru bahwa sistem sosio-teknologis dewasa ini menimbulkan kerugian-kerugian ekologis, dan bahwa sistem sumber pemberi kehidupan dari planet kita ini terbatas adanya, memaksa kita untuk meninjau kembali hubungan antara peradaban dengan alam. Dan semua itu mempertebal kebutuhan kita untuk menyusun pola-pola pembangunan yang bukan sekedar merupakan pengulangan belaka dari apa yang pernah dilakukan oleh negara-negara maju. Strategi pembangunan harus gamblang dan konsisten ditujukan kepada peningkatan swasembada, penyediaan kesempatan untuk mengikuti pendidikan, penggunaan dan pengembangan teknologi yang lebih manusiawi dan sebagainya.
Di samping itu, strategi itu harus pula mampu membina suatu etos yang disepakati bersama mengenai keadilan sosial, solidaritas nasional dan internasional. Dengan bantuan pembagian hasil yang merata serta peluang yang adil untuk mendapatkan kesempatan dan sumber-sumber daya, maka etos tadi dapat membantu membatasi ketegangan-ketegangan sosial (Soedjatmoko, Technology, Development and Culture: a Memorandum for Discussion, National Development Planning Agency, Djakarta, 1972).
Selain itu, harus disadari pula, apabila tujuan pembangunan hanya mempunyai arti dalam kerangka peningkatan kemakmuran material dan tidak dalam kerangka cita-cita hidup yang lebih dalam dan lebih luas; maka “pembangunan” sebagai pembangunan, akan kehilangan banyak arti dan nilainya bagi manusia dan kehilangan daya dorong untuk perkembangan, penyesuaian kreatif dalam setiap pertumbuhan dan tidak akan langgeng. Dengan demikian, dalam pembangunan, persoalannya tidak sekedar bersifat teknis, tetapi bersifat filosofis.
Pabelan, 22 April 1976
Baca juga tulisan terkait:
Teologi Negatif: Upaya para Filsuf Muslim Menalar Esensi Tuhan
Keberanian untuk Beriman
Memahami Kritik Imam al-Ghazali terhadap Filsafat Islam
One thought on ““Yang Santai, yang Kritis dan yang Radikal”: Sebuah Pengenalan kepada Dunia Filsafat”