Oleh: Dr. H. Habib Chirzin
Balai Pendidikan Pesantren Pabelan
Banyak Jalan
Konon, ketika perang dunia kedua tengah berkecamuk dengan segala kekejamannya ada ungkapan yang tersebar luas di daratan Eropa, bahwa “di dalam lubang perlindungan, tidak ada semangat penganut ateisme”. Agaknya, pengertian yang terkandung di situ adalah bahwa apabila seseorang berada dalam kesulitan yang mengancam jiwanya, maka ia mengakui bahwa Tuhan itu ada. Dalam situasi seperti ini, orang merasakan betapa perlunya Tuhan. Sebagai konsekwensinya, ia harus mengakui adanya Tuhan.
Sebagaimana orang bilang “banyak jalan menuju Roma”, maka banyak pula jalan ke arah penyadaran dan pengenalan akan adanya Tuhan. Ilustrasi di atas menunjukkan salah satu jalan ke arah kesadaran ketuhanan yang pada gilirannya melahirkan pengakuan akan keberadaan-Nya, yang bersumber dari kesadaran akan betapa perlunya Tuhan bagi hidup manusia.
Hampir semua agama menjadikan pengakuan akan adanya Tuhan sebagai pangkal tolak ajarannya sehingga agama yang merupakan ajaran kepercayaan, ibadah dan pola tingkah laku sebagai nilai yang tertinggi dan terbaik beredar di seputar kenyataan akan adanya Tuhan ini. Bagi orang yang beragama, kenyataan akan adanya Tuhan merupakan realitas dasar yang paling hakiki. Realitas ini bersifat psikis, tetapi benar-benar nyata dan dapat dilakukan pembuktian terhadapnya. Pembuktian akan adanya Tuhan tidak dilakukan oleh agama itu sendiri, kecuali hanya dalam arti bantuan. Sebab agama memang tidak bersangkutan dengan urusan pembuktian dan pembenaran akan hal itu. Ia lebih besar berhubungan dengan menyebutkan dan menjelaskan pokok-pokok keimanan dan ibadah serta pola tingkah laku tersebut. Pembuktian dalam hal ini dilakukan misalnya oleh filsafat agama, filsafat ketuhanan atau theodicy. Dalam filsafat agama dikenal berbagai cara yang ditempuh orang dalam upayanya membuktikan adanya Tuhan. Misalnya pembuktian ontologis, kosmologis, dan teleologis (Louis O.K. Unsur-Unsur Filsafat).
Bagi seseorang (filsuf), mungkin pengakuan akan adanya Tuhan merupakan hasil penyimpulan (conclusion) dari suatu penalaran (reasoning); sedang bagi yang lain justru pengajuan akan keberadaan-Nya merupakan pangkal penyelesaian (solution) dan penjelasan atas segala hal, sehingga di dalam dunia kefilsafatan sering dinyatakan bahwa dari sudut metafisika, Tuhan merupakan prinsip terdalam yang mendasari kenyataan. “I believe, therefore I know” (Aku beriman, maka aku tahu), demikian ujar Albert Einstein, si ahli fisika kelas kakap. “Belief in God is the begining of wisdom” (Iman kepada Tuhan adalah pangkal dari kebijaksanaan), kata yang lain.
Iman dan Kesediaan Untuknya
Iman adalah jawaban positif manusia terhadap panggilan suci Tuhan. Untuk beriman, seseorang memerlukan suatu kesanggupan dan kesediaan untuk membuka hati dan pikiran, menerima Tuhan sepenuhnya dengan konsekwen. Konsekwensi dari pada penerimaan ini, antara lain adalah kesediaan untuk menuhankan Tuhan dengan sepenuhnya, mendengarkan firman-Nya serta patuh mengabdi kepada-Nya dengan rendah hati dan penuh kepasrahan.
Tatkala Rasulullah saw diminta nasehatnya oleh seorang sahabatnya, beliau menjawab “Qul aamantu billaahi tsumma istaqim“, katakan “aku beriman kepada Allah kemudian konsekwenlah atas ucapan itu”. Selain kesediaan dan kesanggupan untuk menerima kehadiran Allah dan mengakuinya sebagai pusat, asal dan tujuan dari segalanya, juga dibutuhkan keberanian untuk menerobos segala penghalang rohani. “Iman adalah suatu keberanian untuk menancapkan arti hidup kita pada sesuatu yang tak kita lihat” ujar Paul Tillich yang ahli teologi di dalam karyanya Dynamics of Faith.
Kesadaran Baru akan Iman
Sampai awal abad ini, ilmu pengetahuan nampaknya telah memperoleh kewibawaan yang hampir-hampir tidak dapat diganggu gugat. Pada suatu ketika Laplace mempersembahkan sebuah buku yang ditulisnya tentang gerakan bintang-bintang dan benda-benda angkasa. Ketika Napoleon bertanya: “Mengapa Tuhan tidak pernah disebut-sebut di dalam buku tersebut”, maka Laplace menjawab: “Yang Mulia, saya tidak memerlukan hipotesa itu”. Agaknya yang dimaksud oleh Laplace, bahwa Tuhan tidak diperlukan apabila kita ingin melukiskan ketertiban serta keteraturan angkasa raya, karena agaknya ilmu pengetahuan telah mencukupinya”. Yuri Gagarin yang astronot pun konon juga mempunyai pandangan yang serupa. Bahwa dalam rangka ekspansi keluar wilayah bumi, hipotesa tentang adanya Tuhan tidak dipelukan.
Setelah manusia menyisihkan Tuhan dari kehidupannya dan menggantinya dengan “tuhan” yang lain seperti ilmu, teknik, organisasi, dan sebagainya, manusia menjumpai berbagai kesulitan yang tak teratasi. Kini kesadaran iman mulai tumbuh kembali. Abad kedua puluh adalah abad kesadaran manusia kembali akan agama, tulis Dr Rasyidi. Kesadaran iman ini nampak pula pada laporan Colloquium III di Bellagio, Italia pada 17-23 Juli 1972 yang berjudul “Reconstituting the Human Community” dalam rangka program mengenai “Cultural Relation for the Future” yang disponsori oleh the Hazen Foundation (Prisma, LP3ES, No Ekstra,1973), yang dalam salah satu rumusannya berbunyi: “Berhadapan dengan dampak dari ilmu pengetahuan, teknologi dan birokrasi yang lebih besar, yang sifatnya impersonal, manusia mau tak mau harus menyelami kembali intisari agama dan rohani”. Di bagian lain disebut pula: “Pada saat ini kita lebih sadar akan kebutuhan kita untuk memenuhi dan mengaktuilkan dimensi-dimensi di dalam diri kita sendiri yang sifatnya tidak rasionil, penuh intuisi, ekspresif dan transedental”.
Di negara Indonesia yang salah satu dasar falsafahnya adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”, pada gilirannya agama dan semangat beragama dikembangkan dan dibina secara lebih intensif. Penelitian di bidang agama (yang selama ini tertinggal jauh), digalakkan “dalam rangka mensukseskan pembangunan”. Ini sungguh menggembirakan. Tetapi dalam pasal ini terasa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Yaitu dipandangnya agama sebagai “alat” pembangunan. Juga anggapan bahwa agama tumbuh dari proses sosial dan perkembangan serta perubahannya ditentukan pula oleh proses sosial.
Nilai-nilai praktis dari agama memang tidak boleh diabaikan. Ketaatan beragama (intensitas kesadaran dan pengalaman beragama) seseorang memang menumbuhkan sikap-sikap positif bagi pelaksanaan pembangunan, tetapi hendaknya hal ini tumbuh dan berkembang dari penghayatan iman itu sendiri. Kalau agama dimajukan karena ia dianggap sebagai “alat pembangunan”, maka ia akan kehilangan nilai essensialnya, nilai-nilai asasi yang rohaniah, yang menjadi sumber dan dasar dari nilai-nilai pragmatis yang sekunder.
Studi historis dan fenomenologis, yang meneliti fakta-fakta kepercayaan dan hal-hal yang mengitarinya, semestinya pula diikuti oleh studi yang ditopang oleh disiplin-disiplin ilmu sosial; sebagaimana yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah (Islam di Indonesia, Tintamas Jakarta, 74, hal 9), bahwa “untuk memperoleh pengertian yang lebih luas dan dalam tentang dinamika agama, yang tidak hanya terbatas pada pengertian yang tekstual yang mencoba menarik kesimpulan hipotetis daripada petikan ajaran, tetapi juga agama yang telah terlempar dalam kehidupan sosial”.
Dalam alam pembangunan ini sektor agama memang harus dimajukan, kesadaran dan ketaatan beragama harus dibina, studi dan penelitian agama harus digalakkan, pembicaraan dan publikasi ke arah agama harus ditingkatkan; tetapi bersamaan dengan itu hendaknya disadari pula bahwa agama bukan merupakan bahan penelitian saja, tetapi sebagai jalan dan cara yang sesungguhnya untuk hidup dan ajaran kepercayaan untuk diimani.
Dan untuk itu diperlukan suatu keberanian, menghalau bahkan menerobos (to break through) panghalang-penghalang rohani (the spiritual barriers) yang menggoda keikhlasan hati untuk lurus menghadapkan wajah kita kepada Tuhan.
Pabelan 1977.
* Tulisan ini merupakan refleksi atas pemikiran teologis yang berkembang pada pertengahan tahun 1970-an , ketika saya mengajar di Pondok Pabelan.
Baca juga: Teologi Negatif: Upaya Filsuf Menalar Tuhan
Subhanallah. Karya Kiyai Chirzin ini sangat visioner, di mana banyak orang hingga sekarang menyudutkan agama sebagai pembatas kemajuan atau menganggapnya sebagai alat, dalam tulisan ini beliau kembali mengingatkan bahwa agama dan ketuhanan merupakan akar, pondasi dan asas bagi semua hal bahkan ilmu pengetahuan
Sy inget ketika bc buku kecil depag ri, peran agama dlm pembangunan.Terlebih saat riuhnya penataran P4, th 1982.
Dari tulisan mas Prof .Habib Chirzin ini, jd lebih mengerti bhw selama ini ( tentu sejak bungkarno dan bung prabowo) agama dan umatnya masih tetap dijadikan sbg Alat ” pembangunan”.
Tulisan ini sungguh ” menjugil kesadaran ber ketuhanan dan ke beragamaan ku” saat diungkap ” keberanian” LaPlace dan Yuri Gagarin, terkait astronomi dan penerobosan ruang angkasa. Tetapi ku hrs jujur mengapresiasi sikap Laplace dan Yuri G, yg mmg sedang meluncur dg sain ” rerkadang” tidak perlu menghadirkan Tuhan, agar penjelahahanya tuntas seakan tak terbatas.
Bukankah Allah Swt memang memberikan Ilmu Pengetahuan dan pengalaman sebagai HIBURAN bagi manusia penjelajah,agar kelak sampai bertemu di kesadaran ruang saf 7. Tulisan Prof Habib Chirzin ini memperkaya pengetahuan Filsafat Agama dan Filsafat Ketuhanan dari literatur sebelumnya. Alhamdulillah, masyaAllah 3x, berkah utk kira semua