Search

Surat Nabi Muhammad SAW kepada Raja Oman

Replika Surat Nabi Muhammad SAW kepada raja Oman yang tersimpan di Museum Nasional Oman. Kredit foto: Lilis Mulyani.

Tidarislam.co – Salah satu faktor keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah Islam adalah karena beliau berdakwah dan mengabarkan tentang Islam dengan jalan-jalan perdamaian, antara lain melalui korespondensi dan diplomasi.

Korespondensi itu banyak dilakukan setelah Perjanjian Hudaibiyah (628M), yakni komitmen gencatan senjata dan perdamaian dengan para elit kota Makkah yang dikuasai kaum Quraisy. Perjanjian Hudaibiyah dibuat setelah Nabi melakukan negosiasi karena Kaum Quraisy Makkah melarang dan menghadang para pengikut Nabi yang hendak berhaji dari Madinah ke kota Makkah. Karena enggan bertikai, Nabi Muhammad SAW melakukan negosiasi untuk membuat perjanjian damai, meskipun pada akhirnya Kaum Quraisy mengkhianati komitmen perdamaian tersebut.

Sejak komitmen perdamaian itu, Nabi menyebarkan Islam kepada para raja atau kepala negara, yang notabene adalah para penguasa tertinggi di berbagai belahan dunia saat itu. Surat Nabi Muhammad dikirimkan ke berbagai wilayah dari Afrika, Syam, Persia, Yaman, hingga Romawi, di antaranya kepada Raja Yaman (Hauzah), Raja Bahrain (Munzir), Raja Syam (Harits Al-Gassani), Raja Mesir (Al-Muqawqis), Raja Romawi (Heraklius), Raja Persia (Kisra), Raja Ethiopia (Najasi).

Nabi mengirimkan surat seruan agar mereka mengenal dan mau menerima Islam. Surat-surat tersebut dibuat secara resmi dengan mengatasnamakan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, dan dicap dengan cap resmi bertuliskan “Muhammad Rasul Allah”. Surat-surat tersebut dituliskan dengan tinta di atas selembar kulit.  

Salah satu surat Nabi yang paling belakangan ditujukan kepada Raja Oman bernama Jaifar dan ‘Abd, yang dibuat pada 630 M atau 10 Hijrah. Nabi Muhammad mengutus Amr bin Ash, seorang Sahabat Nabi yang pandai dalam urusan politik dan militer, untuk menyampaikan surat tersebut. Surat tersebut redaksinya cukup singkat, dalam terjemahan berbunyi:

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah kepada Jaifar dan Abd Bani al Julandi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sesungguhnya aku menyeru kalian berdua kepada Islam. Berserahdirilah kepada Allah dengan Islam, kalian akan selamat. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada segenap manusia, untuk memberikan peringatan kepada yang hidup menyampaikan perkataan yang benar kepada orang-orang kafir. Jika kalian mengikrarkan keislaman, maka aku akan mengangkat kalian sebagai penguasa. Tetapi jika kalian menolak untuk mengikrarkan keislaman, sungguh kerajaan kalian akan lenyap oleh pasukan berkuda yang datang ke kerajaan kalian berdua dan akan berjaya kenabianku di kerajaan kalian berdua.” (Stempel: Muhammad Utusan Allah)

Redaksi Surat Nabi Muhammad untuk Raja Oman dalam Tulisan Naskhi

Penulis sejarah Islam dan biografi Muhammad dari India, Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, dalam bukunya Sirah Nabawiyah, menuturkan kisah dialog antara Abr bin Al-Ash utusan Nabi dengan kedua raja Oman ketika menyampaikan pesan dari Nabi Muhammad SAW.

Beliau (Nabi Muhammad SAW) menunjuk Amr bin Al-Ash untuk menyampaikan surat ini. Sehingga Amr menuturkan: “Aku pun berangkat hingga tiba di Oman. Aku ingin menemui Abd bin Al-Julunda terlebih dahulu, karena dia lebih lemah lembut dan lebih kooperatif. Aku berkata di hadapannya, “Aku adalah utusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadap tuan dan saudara tuan.”

Abd: “Temuilah saudaraku (Jaifar) terlebih dahulu, karena dia lebih tua dan lebih berkuasa daripada aku. Aku akan mencoba mengantarkan engkau hingga dia bisa membaca suratmu.”

Kemudian Abd mengajukan beberapa pertanyaan: “Apa yang hendak engkau serukan?”

Amr: “Aku menyeru kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, hendaklah tuan melepaskan apa pun yang disembah selain-Nya, hendaklah tuan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”

Abd: “Wahai Amr, engkau adalah putra pemimpin kaummu. Lalu apa saja yang diperbuat ayahmu? Padahal kami sangat salut kepadanya.”

Amr: “Dia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada Muhammad. Padahal aku ingin sekali dia masuk Islam dan membenarkannya. Dulu aku sejalan dan sepemikiran hingga Allah memberikan petunjuk kepadaku untuk masuk Islam.”

Abd: “Sejak kapan engkau mengikutinya?”

Amr: “Belum lama,”

Abd: “Di mana engkau masuk Islam?”

Amr: “Di Hadapan Najasyi,” jawabku. Lalu aku mengabarkan kepadanya bahwa Najasyi sudah masuk Islam.

Abd: “Lalu bagaimana reaksi kaumnya terhadap kerajaannya?”

Amr: “mereka tetap mengakuinya dan mengikutinya,”

Abd: “Bagaimana dengan para pendeta dan padri?”

Amr: “Begitu pun mereka,”

Abd: “Hati-hatilah dengan perkataanmu wahai Amr. Sesungguhnya tak ada perangai seseorang yang lebih buruk daripada dusta.”

Amr: “Aku tidak berdusta, dan kami tidak menghalalkan dusta dalam agama kami,” jawabku.

Abd: “Menurutku Heraklius tidak tahu keislamannya saat itu.”

Amr: “Begitulah.”

Abd: “Dari mana engkau bisa mengetahuinya?”

Amr: “Dulu Najasyi selalu menyerahkan pajak kepada Heraklius. Setelah masuk Islam dan membenarkan Muhammad, maka dia berkata, “Tidak, demi Allah, andaikan dia meminta satu dirham pun, aku tidak menyerahkan kepada dia,” jawabku. “Akhirnya Heraklius mendengar pula keislamannya. Lalu dia ditanya saudaranya, ‘Apakah engkau membiarkan rakyatmu menolak menyerahkan pajak kepadamu dan memeluk agama baru yang bukan agamamu?’ Heraklius menjawab, ‘Orang itu menyukai satu agama lalu memilih untuk dipeluknya. Apa yang bisa kuperbuat terhadap dirinya? Demi Allah, jika bukan karena beban kerajaanku ini, tentu aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya’.”

Abd: “Hati-hatilah dengan perkataanmu wahai Amr,”

Amr: “Demi Allah aku berkata jujur kepada tuan,”

Abd: “Tolong beritahukan kepadaku, apa yang diperintahkan Muhammad dan apa pula yang dilarangnya?”

Amr: “Beliau memerintahkan untuk selalu taat kepada Allah dan melarang mendurhakai-Nya, memerintahkan kepada kebajikan dan menyambung tali persaudaraan, dan melarang dari kezhaliman dan permusuhan. Beliau juga melarang zina, minum khmr, menyembah batu, patung dan salib.”

Abd: “Alangkah bagusnya apa yang diserukan itu. Andaikan saja saudaraku sependapat denganku tentang dirinya hingga kami beriman kepada Muhammad dan membenarkannya. Tetapi bagi saudaraku lebih baik mempertahankan kerajaannya daripada meninggalkannya dan hal ini menjadi beban dosa baginya.”

Amr: “Sesungguhnya jika dia mau masuk Islam, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tetap akan mengakui kekuasaannya terhadap kaumnya. Beliau akan mengambil sedekah dari penduduk yang kaya lalu memberikannya kepada mereka yang miskin,”

Abd: “Itu semua akhlak yang bagus. Tetapi apa yang dimaksudkan sedekah itu?”

Lalu aku (Amr) memberitahukan kepadanya tentang segala yang diperintahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai zakat mal, termasuk zakat untuk onta.

Abd: “Wahai Amr, apakah sedekah itu diambilkan dari hewan-hewan ternak kami yang digembalakan?”

Amr: “Benar,”

Abd: “Demi Allah, sekalipun kaumku tetap berada di rumahnya dan sekalipun hewan ternak banyak, aku tidak melihat mereka mau menaatinya.”

Beberapa hari aku (Amr) menunggu di depan rumah Abd, yang saat itu masih berusaha menghubungi saudaranya dan mengabarkan apa yang aku katakan. Suatu kali Jaifar memanggilku. Saat aku menghadapinya, para pengawalnya mencekal lengan tanganku.

Jaifar: “Lepaskan dia!

Maka aku pun dilepaskan. Aku bermaksud hendak duduk. Aku memandangi Jaifar. Lalu berkata:

Jaifar: “Katakan apa keperluanmu!”

Aku (Amr) menyebutkan surat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang masih terbungkus dengan cincin stempelnya. Setelah menerima surat beliau, Jaifar merobek tutupnya dan membacanya hingga selesai, lalu menyerahkannya kepada saudaranya, Abd, yang juga membacanya hingga selesai.

Jaifar: “Maukah engkau memberitahukan kepadaku apa yang dilakukan Quraisy?”

Abd: “Mereka sudah banyak yang mengikuti beliau, entah karena memang menyenangi agamanya, entah karena kalah dalam peperangan.”

Jaifar: “Siapa saja yang bersamanya (Rasulullah)?

Amr: “Sudah cukup banyak orang yang menyenangi Islam dan memeluknya. Dengan akalnya dan berkat petunjuk Allah mereka sudah sadar bahwa mereka sebelumnya berada dalam kesesatan. Dalam kepasrahan ini, aku tidak melihat seorang pun yang masih tersisa selain diri tuan. Jika saat ini tuan tidak mau masuk Islam dan mengikuti beliau, maka sepasukan berkuda akan datang ke sini dan merebut harta benda tuan. Maka masuklah Islam, niscaya tuan akan selamat dan beliau tetap akan mengangkat tuan sebagai pemimpin kaum tuan. Jangan sampai ada pasukan yang menyerang tuan.”

Jaifar: “Akan kupertimbangkan hari ini juga dan besok silahkan datang lagi ke sini!

Aku (Amr) kembali menemui Abd. Dia berkata, “Wahai Amr, aku benar-benar berharap dia masuk Islam asalkan dia tidak merasa sayang terhadap kerajaannya.”

Besoknya aku hendak menemui Jaifar. Namun dia tidak mengizinkanku. Aku pun kembali menemui Abd dan kuberitahukan kepadanya bahwa aku belum berhasil menemui saudaranya. Setelah aku berhasil menemui Jaifar berkat bantuan Abd,

Jaifar berkata: “Aku sedang memikirkan apa yang engkau serukan kepadaku. Aku akan menjadi orang Arab yang paling lemah jika aku menyerahkan kerajaanku ini kepada seseorang, dengan begitu pasukan Muhammad tidak akan menyerang ke sini. Jika pasukannya menyerang ke sini, tentu akan menjadi peperangan yang dahsyat.”

Karena belum juga memberi keputusan, maka aku berkata: “Besok aku akan pulang.”

Setelah Jaifar yakin bahwa besok aku akan pulang, dia berkata kepada saudaranya, “Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menerima tawarannya. Sebab siapa pun yang dikirimi surat oleh Muhammad tentu memenuhi seruannya. Kalau begitu besok suruh dia menghadap lagi ke sini.”

Baca juga: https://tidarislam.co/kaligrafi-dan-seni-islam-sebagai-harmoni-agama-dan-budaya/

Tercatat dalam sejarah, akhirnya Raja Oman Jaifar dan Abd bin Al-Julunda bersedia secara suka rela memeluk Islam dan beriman kepada kenabian Nabi Muhammad SAW. Dengan pengakuan kepada Nabi, mereka tidak kehilangan kerajaan karena kekuasaan politik kerajaan tetap berada di tangan mereka berdua. Keduanya siap menyerahkan sedekah kepada kekuasaan Islam.

Demikianlah bahwa ekspansi Islam terjadi melalui jalan perdamaian, antara lain melalui korespondensi dan diplomasi damai kepada penguasa-penguasa politik. Banyak penguasa-penguasa kerajaan di sekitar Jazirah Arab yang pada akhirnya menjadi pengikut Nabi dan mendapat perlindungan dari Nabi Muhammad. Penerimaan itu kemudian diikuti oleh banyak penduduk dan pengikut-pengikutnya. Dengan begitu pula Islam tersebar dengan pesat ke berbagai penjuru dunia.

*Disarikan dari beberapa sumber.

Baca juga: https://tidarislam.co/islam-di-masa-khalifah-abu-bakar-ash-siddiq/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top