Ilustrasi gambar: Nawacita.co
Tidarislam.co – Dalam satu tahun terakhir, setidaknya ada empat polemik yang muncul di tubuh PBNU; polemik Ba’awali, Polemik PBNU vs PKB, Jatman vs Habib Lutfi, dan yang terakhir adanya upaya meruntuhkan kepengurusan PBNU dengan akan diadakannya MLB oleh sejumlah Kiai yang merasa tak puas dengan sistem kepemimpinan Gus Yahya selaku Ketum PBNU. Keempat polemik ini telah menguras energi bukan saja bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, tetapi berdampak luas bagi seluruh warga Nahdliyin di akar rumut.
NU di tangan Gus Yahya seolah telah menjadi organisasi politik yang di dalamnya berkecamuk banyak kontroversi dan menimbulkan tanda tanya besar bagi banyak orang, apa sesungguhnya gerangan? Warga Nahdliyin yang ada di pinggiran juga banyak yang merasa kebingungan sekaligus prihatin dengan adanya fenomena tersebut. Apalagi banyak tuduhan memalukan yang dialamatkan bukan saja pada struktur PBNU, tetapi pada NU itu sendiri di ranah kultural.
Relasi Kuasa dalam Polemik Ba’alawi, PBNU, Jatman, dan Patman
Banyak orang menilai bahwa beberapa polemik di atas memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga rangkaian polemik demi polemik ini memuncat ke permukaan secara menggelegar dan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa di tubuh NU. Sebagai contoh, polemik Ba’alawi yang telah berlangsung sejak dua tahun yang lalu sangat berdampak pada sosok Habib Lutfi, terutama posisi beliau di kepengurusan Jatman.
Kendati pelengseran Habib Lutfi di Jatman berawal dari berakhirnya masa kepengurusan beliau di tahun 2023, tetapi banyak orang kehilangan respek terhadap sosok beliau lantaran isu Ba’alawi yang terus digoreng di media masa dan di forum-forum ilmiah. Belum lagi tuduhan-tuduhan lain terhadap para Habaib yang telah menurunkan citra mereka di mata umat Islam. Ini semua telah menggiring pada penurunan otoritas keulamaan para Habaib yang dulu sangat dimuliakan.
Terlepas benar tidaknya tesis Kiai Imad tentang Nasab Ba’alawi, adalah fakta bahwa banyak umat Islam merasa kecewa sekaligus merasa dibohongi oleh kehadiran para Habaib di Indonesia, meskipun banyak pula yang masih setia kepada mereka. Penulis hanya ingin menegaskan bahwa semakin ke sini polemik Ba’alawi menjadi sangat tidak sehat karena telah menimbulkan kubu-kubuan, bukannya menggiring pada diskusi akademik yang lebih fair, polemik Ba’alawi telah menjadi ajang caci maki dan saling melontarkan kata-kata kotor yang tidak patut diucapkan oleh seorang Muslim.
Lahirnya Patman sebagai organisasi tarekat tandingan bagi Jatman, juga bisa dilihat dari perspektif polemik Ba’alawi. Dalam konteks ini, Habib Lutfi boleh jadi sudah merasa tidak dipercaya di struktur NU sehingga beliau merasa tertekan dan memilih untuk keluar dari jalur PBNU dan membuat jalur baru sesuai dengan dunia yang beliau geluti.
Pada titik ini, Habib Lutfi mencoba menarik suara NU kultural yang masih setia kepadanya untuk secara bersama-sama menghidupkan perkumpulan barunya, yakni Patman. Kendati secara struktural berdirinya Patman tidak terkait dengan NU, tetapi dilihat dari namanya masih menggunakan istilah ‘Nahdliyah’. Ini menunjukkan bahwa Habib Lutfi sendiri masih merupakan bagian dari warga NU dan sah bila ia membuat perkumpulan yang mengakomodir warga NU juga.
PBNU sendiri sejauh ini cukup netral terhadap polemik Ba’alawi, bukan karena percaya sepenuhnya terhadap Habib sebagai dzuriyah Nabi, tetapi posisi dan sikap PBNU lebih merupakan bentuk penghormatan terhadap para Habaib sehingga di tingkat struktural tidak begitu terjadi gejolak sebagaimana di masyarakat. Namun demikian, PBNU menjadi sangat resah ketika ada femonena beberapa oknum Habaib yang diduga mencoba membelokkan sejarah NU, termasuk juga dugaan pemalsuan makam.
Dalam hal ini PBNU mulai berpikir serius untuk menanggulangi berbagai upaya yang dianggap mengancam eksistensi NU. Keresahan PBNU terhadap fakta ini mendorong dibentuknya tim untuk menelusuri sejarah NU di masa lampau. Boleh jadi masalah ini telah membuat struktur PBNU telah kehilangan respek terhadap kepengurusan Jatman yang dipegang oleh Habib Lutfi, sehingga secara tegas PBNU mengambil alih Jatman dengan alasan membuat kepengurusan baru.
Polemik yang terjadi antara PBNU dan Jatman juga menimbulkan tanda tanya besar, apakah ini ada kaitannya dengan polemik Ba’alawi dan lainnya? Yang pasti, fenomena pendirian Patman oleh Habib Lutfi seolah menggiring orang pada satu kesimpulan bahwa apakah Habib Lutfi ingin menjadi Ketua Jatman seumur hidup? Sehingga ketika seolah ‘dilengserkan’, beliau mendirikan perkumpulan baru yang sangat mirip, wallahu’alam.
Bila dilihat dari perspektif outsider, apa yang terjadi antara PBNU vs Jatman bukan saja memprihatinkan, tetapi juga sangat memalukan. Seolah NU ini organisasi keagamaan yang telah berubah menjadi organisasi politik dengan adanya kesan perebutan kekuasaan antar anggotanya. Dengan melihat polemik ini, betapa sangat tampak adanya jalinan relasi kuasa dan saling merebut otoritas pengaruh keagamaan. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah umat dan warga Nadliyin di tingkat bawah. Mereka yang kebingungan dan tidak tahu menahu masalah ini menjadi ikut terseret pada arus politik keorganisasian yang penuh kepentingan.
Polemik MLB, PBNU, dan PKB
Sekarang mari kita beralih tema dengan melihat secara sederhana polemik di seputar MLB PBNU dan konflik PBNU vs PKB. Seperti telah disinggung di atas bahwa polemik di NU ini saling terkait satu sama lain. Sejak awal kita mudah menduga bahwa agenda MLB PBNU sesungguhnya merupakan bagian dari polemik PBNU vs PKB.
Apa dasarnya? Pertama, orang-orang yang terlibat di MLB sebagiannya adalah orang-orang yang aktif di PKB, sebut saja misalnya Kiai Imam Jazuli, pengasuh PP. Bina Insan Mulia Cirebon, beliau sejak awal aktif menyuarakan MLB. Kedua, keberadaan Kiai Marzuki Mustamar yang dipecat dan kehilangan jabatannya di NU juga ikut serta dalam forum agenda MLB tersebut. Ini semua menjadi mata rantai untuk melihat rangkaian konflik yang terjadi antara PBNU vs PKB. Kendati Cak Imin mengaku tidak ikut-ikutan dengan agenda MLB, orang bisa menduga bahwa intrik politik di dalamnya diduga berhubungan dengan konflik PBNU dan PKB.
Baca juga: Gus Dur dan Warisan Pribumisasi Islam
Lagi pula, polemik PBNU vs PKB juga telah lama terjadi, dan mencuat kembali setelah Gus Yahya dipengarai mengusik kepengurusan PKB di bawah kekuasaan Cak Imin. Dalam sejarahnya, kita dapat melihat bagaimana dulu Cak Imin berseteru dengan Gus Dur dalam memperebutkan partai PKB. Kemenangan Cak Imin atas PKB menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi Gus Dur dan pengikut-pengikutnya, termasuk Gus Yahya.
Hal inilah yang boleh jadi menjadi salah satu akar dari seteru PBNU dan PKB. Gus Yahya menilai bahwa PKB dibawah komando Cak Imin sudah tidak benar dan banyak menyeleweng dari orientasi utamanya. PKB yang semula menjadi alat NU dalam berpolitik menjadi sangat independen dan dianggap lepas tak terkendali.
Atas berbagai intrik dan manuver Gus Yahya yang dianggap terlalu ikut campur urusan Partai, Gus Yahya lalu digoyang dengan berbagai persoalan. Misalnya dibuatnya Pansus Haji di DPR yang disinyalir untuk menggulingkan Gus Yaqut yang merupakan adik dari Gus Yahya yang ketika itu masih menjabat sebagai Menag. Selanjutnya, PBNU dihantam isu MLB yang sejak awal ditengarai menjadi kelanjutan dari konflik PKB dan PBNU.
Terlepas banyaknya tuntutan dalam agenda MLM PBNU, kita dapat melihat bahwa MLB merupakan ancaman nyata bagi penggulingan kekuasaan Gus Yahya sebagai Ketum PBNU. Sekaligus, adanya MLB ini seolah telah membuat NU seperti partai politik tempat orang berebut kekuasaan dan kepentingan. Bila dilihat dari luar, ini bisa menjadi bahan tertawaan dan lelucon yang mengasikkan. Namun bila dilihat dari dalam, NU seolah telah digerogoti dan dirusak oleh aktor-aktor yang berambisi pada kekuasaan. Sehingga membuat umat kebingungan dengan melihat para elitnya bertengkar satu sama lain.
Tentu, kepengurusan PBNU di bawah komando Gus Yahya tidaklah sempurna dan ada banyak sekali kekurangan di sana sini, sebagaimana juga terjadi pada kepengurusan di era sebelum-sebelumnya. Tetapi sebagai organisasi keagamaan, tidak sepatutnya NU diperlakukan selayaknya partai politik yang dengan mudah saling berebut kekuasaan yang tentunya akan menurunkan marwah NU bagi warganya. Berbagai masalah yang ada di tubuh NU harusnya dibicarakan secara baik-baik, apalagi otoritas Kiai dan keulamaan memiliki posisi yang jauh di atas struktural PBNU.
Saya meyakini bahwa MLB ini tidak akan berhasil. Tetapi sebagai catatan, ini akan menjadi rapor merah bagi NU agar ke depan dapat memperbaiki kinerjanya di ranah struktural. Sebab, polemik ini telah meresahkan dan berdampak luas bagi sebagian besar warga Nahdliyin. Warga NU yang ada di pinggiran terpaksa harus ikut terseret oleh polemik ini dengan saling menggunjing sana sini. Mereka yang tidak tahu menahu dengan konflik ini merasa ada yang tidak beres di tubuh NU, semacam konflik antar keulamaan dan perebutan otoritas.