Asal-Usul Ilmu Kalam dalam Tradisi Pemikiran Islam

Oleh: Hamdhan Djainudin

Tidarislam.co – Artikel ini merupakan komentar atas artikel yang ditulis oleh Alexander Treiger dengan judul asli “Origin of Kalam” yang dimuat dalam The Oxford Handbook of Islamic Theology. Dalam artikel ini, Treiger mengomentari tulisan Van Ess terkait beberapa point, yaitu geneologi kalam, perdebatan dalam ilmu kalam, serta kritik atas sumber referensi yang digunakan oleh Van Ess terkait 3 teks yang di anggap paling tua dalam studi kalam dalam studi Islam. Treiger lebih sepakat dengan Michael Cook dan Jack Tannous terkait gaya debat kalam yang meniru gaya debat kristologis yang telah berkembang pada saat itu.

Mutakallim menjadi sebutan bagi juru bicara muslim dalam event debat antara Muslim-Kristen (sebagaimana di Kristen sebelumnya sudah popular event serupa), dari sanalah kalam/mutakallim menjadi sebutan bagi juru bicara muslim ketika debat Islam-Kristen ketika itu. Dengan demikian, kalam mendapat dimensi makna baru dari hanya sekedar berbicara (sesuai asal kata/filologi kalam) menjadi ahli debat alam kajian teologi spekulatif.

Geneologi Kalam dalam Studi Islam

Studi Islam atau kajian Islam tentu saja sudah ada sejak Islam itu sendiri hadir dalam sejarah hidup manusia, terutama berawal dari dalam umat Islam sendiri. Kajian Islam pada awalnya dilakukan secara sederhana, namun sesuai dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas masyarakat yang menganut Islam, cara melakukan studi Islam juga mengalami perkembangan. Meskipun tujuannya sama, yaitu untuk mengetahui dan mengamalkan ajaran Islam, cara atau pendekatan studi Islam dilakukan secara berbeda-beda. Perbedaan waktu dan tempat beserta perkembangan ilmu pengetahuannya ikut memberi dinamika cara atau metode dalam mengkaji ajaran-ajaran Islam.

Diawal kemunculan Islam, disiplin ilmu yang mendominasi adalah tafsir al-Qur’an, yang kemudian menyusul ilmu-ilmu hadisnya. Tafsir-tafsir al-Qur’an merupakan pemahaman umat Islam atas ayat-ayat al-Qur’an mengenai fenomena-fenomena kehidupan manusia. Kajian tafsir ini telah muncul sejak al-Qur’an turun, dan otoritas tafsir satu-satunya ada pada Nabi Muhammad saw. Beberapa sahabat Nabi juga dikenal dan diakui Nabi sendiri sebagai ahli tafsir al-Qur’an, yang sepeninggal Nabi mereka sering dirujuk sebagai ahli al-Qur’an dan ahli Tafisrnya.

Dari kedua fokus kajian inilah muncul kajian kalam, dilatar belakangi perjumpaan tradisi Islam dengan tradisi luar Islam, seperti dengan tradisi Yunani, Persia, dan Romawi, memunculkan tantangan dari segi bagaimana menjelaskan ajaran-ajaran Islam secara rasional, di samping secara tekstual. Persingunggan sistem keyakinan yang berbeda dengan agama-agama lain memunculkan pertanyaan bagaimana Tauhid bisa dimengerti secara teoritik, selain sebagai ajaran yang diimani. Demikianlah muncul diskusi-diskusi ilmiah yang melahirkan pembahasan-pembahasan dalam kalam.

Penjelasan terkini tentang asal-usul teologi Islam harus dimulai dengan peneliti utamanya Josef van Ess, yang menyatakan pandangannya, pada tahun 1970-an, secara ringkas sebagai berikut:

Penamaan dan Gaya Perbedatan dalam Ilmu Kalam

Hasbi Ash Shiddieqy mengemukakan penyebab dinamakan ilmu tauhid dengan ilmu kalam adalah sebagai berikut:

1. Karena problema-problema yang diperselisihkan para ulama Islam dalam ilmu ini, menyebabkan umat Islam terpecah dalam beberapa golongan, semisal kalam Allah yang kita bacakan (Al-Qur’an), apakah dia makhluk (diciptakan) ataukah qadim (bukan diciptakan).

2. Materi-materi ilmu kalam adalah merupakan teori-teori (kalam), tidak ada di antaranya yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota badan.

3. Ilmu ini, di dalam dia menerangkan cara atau jalan menetapkan dalil untuk pokok-pokok akidah, serupa dengan ilmu mantiq. Karenanya dinamailah ilmu ini dengan nama yang sama maknanya dengan mantiq, yaitu ilmu kalam.

Ulama-ulama mutaakhirin memperkatakan masalah-masalah yang tidak diperkatakan oleh ulama salaf, seperti penta’wilan ayat-ayat ayat-ayat mutasyabihah, pembahasan tentng pengertian qada’, tentang kalam dan sebagainya. Karenanya dinamailah ilmu ini dengan ilmu kalam.

Alexander Treider dalam artikelnya mengemukakan kritiknya terhadap tulisan terakhir (1970an) yang ditulis oleh Josef Van Ess yang membahas terkait awal mula munculnya ilmu kalam dalam dunia Islam, dalam tulisannya Van Ess menekankan:

“Theology in Islam did not start as polemics against unbelievers. Even the kalām style was not developed or taken over in order to refute non-Muslims, especially the Manicheans, as one tended to believe when one saw the origin of kalām in the missionary activities of the Muʿtazila. Theology started as an inner-Islamic discussion when, mainly through political development, the self-confident naïvité of the early days was gradually eroded”.

Van Ess berpendapat bahwa “teologi Islam tidak dimulai sebagai polemik terhadap orang-orang non muslim yang hidup berdampingan pada masa itu, melainkan berkembang secara independen yang ditengarai oleh komunitas muslim awal itu sendiri. Van Ess berpendapat bahwa teologi islam lahir dari diskusi di dalam Islam sendiri, selain itu perkembangan politik juga mempengaruhi lahirnya ilmu kalam dalam Islam”.

Traider lebih condong kepada pendapat dari Michael Cook dan Jack Tannous yang berpendapat bahwa sejarah ilmu kalam muncul dan lahir berdasarkan latar kontak sosial masyarakat minoritas muslim dengan mayoritas Kristen pada waktu itu, di mana Islam baru menaklukkan beberapa negara atau daerah yang dulunya merupakan basis Kristen, hal tersebut dapat dilihat dari gaya argumentasi kalām dan kemudian menelusuri ciri-ciri ini dalam literatur perdebatan gaya Syria pada masa itu, ciri khas argumentasi kalām yang serupa dengan perselisihan Kristologis Siria abad ketujuh, menjadikan bukti kuat akan hal tersebut. Di samping itu, Tannous mengedepankan apa yang dapat disebut sebagai ‘hipotesis Kristen Arab’. Dia berpendapat bahwa lingkungan Kristen Arab di Suriah dan Irak adalah saluran yang paling masuk akal untuk transmisi teknik perselisihan gaya kalām.

Baca juga: Peran Kuda dalam Membentuk Peradaban Islam

Gaya perdebatan kalam sudah ada geneologinya dalam sejarah Kristen, Jacobian melawan Chalcadonian sebagai contohnya, dengan corak argumentasi yang sama. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Kristen arab sangat menonjol di awal kemunculan Islam, dan hal tersebut berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam saat itu, termasuk dalam bidang akademis, dimana diskusi-diskusi muslim non-muslim sering terjadi, tentu setiap agama mempertahankan eksistensinya. Ilmu kalam menurut penulis, walaupun memiliki perbedaan, tetap juga memiliki kesamaan dengan ilmu akidah, dan ilmu tauhid, karena pembahasannya yang saling bersinggungan, walaupun lahir dari perspektif dan sudut pandang yang berbeda.

Oleh karenanya penulis menyimpulkan, ada dua aspek mendasar terkait sejarah dan lahirnya ilmu kalam dalam islam, pertama dari segi kebahasaan, dinamakan kalam karena mengandung arti perkataan dan perdebatan, dimana lahirnya ilmu kalam sendiri pada masa Abbasiyah yang mana minoritas Islam sedang berusaha mempertahankan eksistensinya ditengah mayoritas Kristen arab pada saat itu, yang mau tidak mau harus melawan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada mereka, terutama mengenai “sesuatu yang tidak bisa di ukur” atau iman. Disisi lain, corak kristen arab juga terlihat (atau setidaknya memimliki dampak) dari penerjemhan-penerjemahan buku-buku filsafat yunani ke dalam bahasa Arab yang terjadi pada masa khalifah Al-Ma’mun, khalifah ke 7 dari khalifah khalifah bani Abbas.

Kedua dari segi substansi, dinamakan kalam karena pada awal pembahasannya yakni sepeninggal Nabi Muhammad, dimana ajaran Islam sudah meluas, dan butuh penjelasan lebih lanjut terkait ajaran dasar Islam, dimulai dari pertanyaan apakah al Qur’an adalah makhluk ataukah kalam Allah. Kebutuhan dalam menjelaskan Islam kepada umat Islam yang bukan berasal dari arab atau dari kalangan tabiut-tabiin ini di kuatkan oleh pada masa yang sama (awal abad ke 2 hijrah atau abad ke 7 masehi) dimana keilmuan islam mulai berkembang, lahirnya ilmu hadis, berkembangnya ilmu fiqh, munculnya ulama-ulama fiqh terkemuka seperti imam hanafi, maliki, syafi’i.

Perdebatan dalam Ilmu Kalam

Pada pembahasan ini, Treider mengomentari pendapat Van Ess, salah satu pembahasan mula-mula ilmu kalam adalah terkait perdebatan masalah qadar, dimana prinsip qadar ini tidak bisa terlepas dari teori “Kristen Arab”. Argumen ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Pertama, kehendak bebas adalah prinsip dasar agama Kristen. Kedua, sumber-sumber biografi Muslim menyatakan bahwa para pemimpin Qadarī (Maʿbad al-Juhanī dan Ghaylān al-Dimashqī) memiliki hubungan dengan agama Kristen. Treider lebih condong kepada kemungkinan bahwa debat qadar dalam Islam pada dasarnya adalah Islamisasi perdebatan lama antara pejuang kehendak bebas (Kristen, Yahudi, dan Zoroastrian) dan pendukung determinisme. Dengan menegaskan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, Al-Qur’an secara implisit mengangkat masalah monoteistik abadi tentang apakah Tuhan juga bertanggung jawab atas kejahatan.

Pembahasan mengenai aqidah dalam dunia Islam mulai subur pasca terbunuhnya khalifah ke 3 yakni Usman bin Affan. Sepeninggal Usman, Islam terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, disanalah masing-masing partai dan golongan tersebut berusaha mempertahankan pendiriannya, dimasa ini pula mulai terbukanya pintu ta’wil bagi nash-nash al-Qur’an, mulai berkembang juga riwayat-riwayat palsu.

Pada masa khalifah ke 4, Ali bin Abi Thalib, terjadi 2 perpistiwa perang besar, perang jamal dan perang siffin, yang menjadi embrio kebebasan berbicara mengenai masalah-masalah yang di diamkan pada masa sebelumnya, beberapa penyebabnya adalah masuknya pemeluk agama lain ke dalam agama Islam dengan tetap membawa pengaruh agamanya yang dahulu, sehingga lahirlah pertanyaan-pertanyaan seputar qadar, dan masaah isthitha’ah.

Di sini muncullah tokoh seperti Ma’bad Al-Juhani, masih dalam golongan tabi’in, dialah yang awal mula mempertanyakan masalah qadar, dimana dia mengambil faham tersebut dari orang Iraq yang beragama Nasrani yang kembali murtad setelah memeluk Islam, dan Ghailan Ad Dimasyqi serta Ja’ad bin Dirham, dia adalah salah satu yang mula mula mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. Para sahabat yang hidup semasa dengan mereka seperti Ibn Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Ibn Abbas, dan Abu Hurairah menyalahkannya atas pendapatnya tersebut.

Bantahan terhadap 3 teks yang dipakai oleh Van Ess sebagai referensi utama dalam penelusuran geneologi kalam

Sejarah mencatat banyak claim teoritis tentang geneologi kalam, kontestasi teoritis itu bisa dipetakan dalam 2 claim, pertama mengatakan kalam berasal dari kebiasaan debat Kristologi arab (Cook), kedua yang berpandangan berasal dari dalam islam sendiri, Treiger dalam tuliasn ini ingin menguatkan group pertama, hanya sekedar menguatkan, mengemukakan pendapat Cook.

Selama ini, 3 teks yang di anggap karangan dari nama nama yang disebutkan oleh Van Ess menurut Treiger dianggap palsu (Ḥasan bin Muḥammad bin al-Ḥanafiyya, ʿUmar bin ʿAbd al-ʿAzīz, and al-Ḥasan al-Baṣrī), ditulis tidak sesuai dengan masa nama yang dikaitkan tulisan tersebut terhadapnya. Dalam rangka mengkritisi Van ess, Van Ess mendasarkan argumentasinya lewat 3 teks ini, yang di anggap sebagai teks paling awal dan paling tua yang berbicara tentang kalam, Treiger meragukan pendapat Van Ess tentang sumber referensi tersebut. Terdapat sebuah kebiasaan dalam dunia Islam kuno, dimana seorang murid, dalam menulis kalimat guru daru gurunya, ia tidak menulis atas nama dia melainkan disambungkan kepada nama guru dari gurunya tersebut, hal tersebut bisa saja terjadi dalam konteks ini, dimana murid dari murid hasan basri misalnya, mengutip perkataan hasan basri tetapi dengan tidak mencantumkan nama pengutipnya dengan alas an ta’dzim kepada sang maha guru, yang akhirnya mengaburkan catatan sejarah yang kemudiannya menjadikan sulit untuk mendeskripsikan perkataan siapa yang dijadikan referensi dari penelitian Van Ess tentang kalam tersebut.

Orisinalitas treiger tentang kritiknya terhadap pendapat Van ess, berkaitan dengan 3 teks yang Van Ess ajukan sebagai teks tertua yang bisa melacak geneologi kalam dalma dunia Islam, dimana menurut Treiger hal tersebut tidak valid dan batal, Trieger tidak setuju karena menurut dia teks tersebut tidak sesuai pada penanggalannya, dan bukan d tulis oleh orang orang yang disebutkan oleh Van Ess di atas. Treiger hanya mengomentari Van Ess dengan menampilakn data/kritik dari cook dan Taannous.

Menurut penulis, sebutan untuk sebuah kelompok sering datang belakangan, yang lebih dahulu praktik, baru setelah praktik berjalan barulah orang menamai praktik tersebut, hal seperti ini telah menjadi tradisi yang menghiasi sejarah manusia. Pada awal mulanya, belum ada kalam, setelah muncul perdebatan-perdebatan dalam kalam, barulah di buatkan terma kalam ini, penamaan kalam sebagai jenre tersendiri dalam studi Islam datang belakangan, setelah ada orang-orang tokohnya, ajarannya. Peran penamaan nya oleh penulis sejarah.  Istilah mutakallimun di samakan kepada istilah Kristen syiria/arab (mamla’).

Lahir dan berkembangnya kalam dalam studi Islam tidak terlepas dari peran insider dan outsider dunia Islam di awal kemunculannya. Secara substansial, perdebatan kalam dipicu dari pertikaian politik. Secara gaya perdebatan mengikuti gaya perdebatan kristologi masa itu, Islam lahir dalam konteks budaya yang sudah mapan, maka tidak bisa dipungkiri corak keberagamaan sebelum kemunculan Islam masih berbekas pasca Islam menaklukkan daerah kekuasaan barunya tersebut. Perjumpaan tradisi Islam dengan tradisi luar Islam, seperti dengan tradisi Yunani, Persia, dan Romawi, memunculkan tantangan dari segi bagaimana menjelaskan ajaran-ajaran Islam secara rasional, di samping secara tekstual. Insider dalam epistimlogi islam melahirkan nalar burhani, yang kemudian di susul oleh nalar bayani dan irfani yang kemudian dipadukan dengan epistimologi yang berkembang dengan kemajuan ilmu pengetahuan di kemudian hari menjadikan lahirnya asas asas baru dalam epistimologi islam seperti fiqh, tarikh, dan sebagainya.

Kesimpulan

Teologi Islam atau ilmu kalam adalah pemikiran yang menggunakan teks dan rasio untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan yang bisa diterima nalar manusia sehingga bisa berbeda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya, sedangkan Tauhid adalah ajaran yang tetap sifatnya. Dalam teologi Islam muncul berbagai aliran seperti di antarannya jabariyyah, qadariyyah, khawarij, murji’ah, mu’tazilah, dan asy’ariyah. Lahirnya perdebatan dalam kalam sendiri didasari oleh pengaruh politik yang sarat akan kepentingan golongan, sedangkan gaya debat dalam kalam meniru gaya debat kristologis arab yang memang sudah berkembang dimasa itu. Penulis ingin menengahi pendapat dari Treiger dan Van Ess terkait geneologi kalam, dimana kalam menjadi disiplin ilmu adalah merupakan kesimpulan dari penulisan sejarah jauh setelah kalam tersebut berkembang. Pada awal mulanya, hanya ada para tokoh dan praktik kalamnya, belum ada penamaan ilmu kalam, hingga setelah beberapa masa, barulah lahir konsentrasi ilmu kalam yang berdiri sendiri.

Daftar Pustaka

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi., Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Azizy, A. Qodri., Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Islam Depag RI, 2003.

az-Zanjani, Abu Abdullah., Wawasan Baru Tarikh al-Quran, terj. Kamaluddin Marzuqi Anwar dan M. Qurtubi, Bandung: Mizan, 1986.

Cook, M. A., Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study. Cambridge and New York: Cambridge University Press, 1981.

Treiger, Alexander., Origins of Kalām dalam, Sabine Schmidtke (ed) The Oxford Handbook of Islamic Theology, Oxford: Oxford University Press, 2016

van Ess, Josef., The Beginnings of Islamic Theology. dalam J. E. Murdoch and E. D. Sylla (eds.), The Cultural Context of Medieval Learning, Dordrecht and Boston: Reidel, 1975

Hamdhan Djainudin. Mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

One thought on “Asal-Usul Ilmu Kalam dalam Tradisi Pemikiran Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *