Search

Suriah dan Masalah Demokrasi di Timur Tengah

Ilustrasi gambar: cnnindonesia.com

Tidarislam.co – Pada Minggu, 8 Desember 2024, pasukan pemberontak Suriah telah berhasil menduduki kota Damaskus, Ibu Kota Suriah, hal ini sekaligus menandai berakhirnya rezim Bashar al-Ashad yang telah berkuasa di negara tersebut lebih dari satu dekade. Atas tragedi tersebut, kabarnya Presiden Suriah Bashar al-Ashad melarikan diri ke Moskow.

“Setalah 50 tahun penindasan di bawah pemerintahan Baath dan 13 tahun kejahatan, tirani, serta pengungsian, dan setelah perjuangan panjang melawan segala bentuk kekuasaan pendudukan, kami mengumumkan hari ini, 8 Desember 2024, berakhir era kelam itu dan dimulainya era baru bagi Suriah”, kata para pemberontak dalam sebuah pernyataan seperti dikutip CNN Indonesia.

Siapa para pemberontak itu? Serangan yang terjadi di Suriah diprakarsai oleh Hayat Tahrir Al-Sham, sebelumnya dikenal dengan Front Nusra, kelompok ini merupakan sayap resmi Al-Qaeda dalam perang di Suriah, hingga akhirnya memutuskan hubungan pada tahun 2016.

HTS, yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Jolani, telah lama menjadi kekuatan dominan di wilayah Idlib, bagian dari wilayah barat laut di mana para pemberontak mempertahankan pijakannya, meskipun Ashad memperoleh kemenangan di tempat lain. Amerika dan beberapa negara lain telah menetapkan kelompok ini sebagai organisasi teroris.

Apa yang terjadi di Suriah sesungguhnya merupakan Perang Saudara yang terjadi antara kelompok pemberontak pro-demokrasi dan rezim Presiden Bashar al-Ashad. Perang ini telah dimulai sejak aksi protes tanpa kekerasan pada tahun 2011 yang dikenal dengan fenomena Arab Spring, yang kemudian berkembang menjadi pertempuran yang berlangsung hingga kini.

Selama perang yang terjadi sejak 2011, Suriah tidaklah sendirian. Perang ini juga melibatkan banyak negara seperti kelompok sekutu Suriah; Rusia, Iran, Turki, dengan oposisi mereka, yakni Amerika Serikat. Keterlibatan banyak negara ini telah menjadikan konflik di Suriah makin tidak karuhan.

Fenomena Arab Spring

Gejolak perang di Suriah dipicu oleh sebuah fenomena yang disebut sebagai Arab Spring, yang pertama kali muncul pada tahun 2010. Arab Spring adalah gerakan revolusioner yang terjadi di wilayah Timur Tengah untuk melawan para rezin otoriter.

Paling tidak, para pemberontak menuntut adanya perubahan sistem kekuasaan yang telah dipegang oleh rezim otoritarianisme selama beberapa dekade, hal ini sebagaimana pula yang terjadi di Suriah di mana keluarga Presiden Bashar al-Ashad telah berkuasa di negara tersebut selama lebih dari 50 tahun.

Pada tahun 2011, fenomena Arab Spring telah menyebar hingga ke Suriah, yang memicu gerakan revolusioner di Suriah yang berusaha melawan sistem pemerintahan otoriter di bawah kekuasaan Bashar al-Ashad. Bashar al-Ashad telah berkuasa di Suriah sejak tahun 2000, presiden Suriah sebelumnya adalah ayah Bashar, yang telah memerintah sejak tahun 1970.

Baca juga: Pentingnya Memupuk Toleransi dan Kerukunan Beragama

Adanya fenomena Arab Spring telah menginsipirasi para aktivis pro-demokrasi di Suriah untuk berani menyuarakan kritik terhadap pemerintahan yang dianggap otoriter dan tidak peduli dengan kesejahterana rakyat. Bukannya ditanggapi dengan baik, rezim Ashad malah merespon para aktivis ini dengan cara-cara kekerasan dan menganggap mereka semua adalah kelompok teroris yang harus ditumpas.

Cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh negara kiranya telah membentuk kesadaran masif bagi kelompok masyarakat di Suriah untuk terus melakukan pemberontakan dan akhirnya perang saudara pun pecah tak terbendung.

Sesungguhnya perang saudara yang terjadi di Suriah sangatlah pelik, karena melibatkan banyak sekali fraksi yang bertempur. Situasinya menjadi makin rumit ketika banyak negara ikut andil dalam konflik tersebut. Kelompok Suriah di Sokong oleh Rusia dan Iran, sementara kelompok pemberontak sebagiannya didukung oleh Amerika Serikat.

Jadi, konflik ini bukan hanya perang internal di Suriah, tetapi telah memengkak menjadi konflik antar negara yang tentunya memiliki kepentingan di negara tersebut. Artinya, negara-negara yang terlibat dalam konflik di Suriah, mereka ingin semakin menancapkan pengaruhnya di Timur Tengah. Ini seperti sebuah peperangan antara Rusia vs AS.

Masalah Demokrasi

Tuntutan utama para pembetontak yang telah berhasil menggulingkan rezim Ashad adalah keinginan yang kuat untuk membangun pemerintahan baru yang lebih demokratis. Mereka semua telah muak dengan otoritarianisme di negara tersebut di mana kekuasaan betul-betul absolut di tangan keluarga atau perorangan.

Masalah demokrasi di Suriah sesungguhnya juga telah melanda hampir di seluruh wilayah Timur Tengah. Fenomena Arab Spring yang pecah pada tahun 2010 silam juga merupakan sebuah tuntutan untuk membangun pemerintahan baru yang lebih demokratis. Meskipun, pecahnya Arab Spring tidak selalu membuat perjuangan para pemberontak menuai keberhasilan.

Apa yang terjadi di Suriah dapat menjadi gambaran umum bagaimana demokrasi masih menjadi masalah serius di banyak negara di Timur Tengah.

Misalnya, bagi kebanyakan orang-orang Arab, sistem dan gagasan demokrasi dianggap asing bagi mereka, sementara bagi kelompok Islamis militan, demokrasi dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua cara pandangan yang berbeda tentang demokrasi ini telah melahirkan ketidaksepakatan dan makin memperumit situasi politik di berbagai wilayah di Timur Tengah.

Di seluruh dunia Arab-Islam, konflik terjadi tidak hanya antara rezim otoriter dan oposisi Islamis, tetapi juga antara Islamisme dan demokrasi liberal. Otokrasi (pemerintahan otoriter) mengatakan bahwa demorkasi itu asing bagi orang-orang Arab, sedangkan kalangan Islamis mengatakan bahwa demokrasi itu asing bagi Islam.

Lemahnya demokrasi di dunia Arab juga tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada imperialisme dan warisan kolonialnya, atau dengan teori konspirasi. Dalam demokrasi, kekuasaan itu di depersonalisasikan: kekuasaan berada di institusi, seperti pengadilan dan legislatif, bukan pada individu tertentu. Dalam Islam, iman mengejawantahkan otoritas yang dipersonalisasikan.

Dalam kasus di Suriah, apa yang harus dilakukan? Pertama, harus membuka jalan pada demokrasi liberal. Kedua, berhasil tidaknya sistem demokrasi itu tergantung bagaimana resolusi internal terjadi di negara tersebut, terutama bagi masyarakat yang terlibat langsung dalam pemberontakan dan penggulingan kekuasaan rezim Ashad.

Rohmatul Izad. Mahasisw S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

1 thought on “Suriah dan Masalah Demokrasi di Timur Tengah”

  1. Pingback: Globalisasi, Demokrasi, dan Otoritarianisme di Dunia Arab-Islam – Tidar Islam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top