Tradisi Jimat, Mantra, Wifiq dan Isim

Oleh: Kholid Mahdum Asror

Jimat, Mantra dan Wifiq

Dalam hal mistis, warga Nahdliyyin memiliki banyak model dalam hal praktik penggunaan benda-benda mistis, ada yang dikalungkan disebut dengan tamâim. Ada yang merapal mantra dan kemudian ditiupkan disebut dengan ruqyah. Dan ada yang menggunakan kombinasi angka-angka yang disebut dengan wifiq atau aufaq.

Ketiga bentuk mistik di atas pada prinsipnya diperbolehkan selama tidak mengandung unsur kekufuran. Menurut penjelasan Ibnu Hajar, Ulama sepakat memperbolehkan jimat atau mantra ketika memenuhi tiga syarat:

  1. Dengan menggunakan kalam Allah, asma’ atau sifat-Nya.
  2. Dengan menggunakan bahasa Arab, atau bahasa yang diketahui maknanya.
  3. Meyakini bahwa jimat atau mantra itu tidak bisa memberi dampak apa pun, melainkan semata karena takdir Allah.

Masih menurut penjelasan Ibnu Hajar mengutip fatwa al-‘Iz bin Abdus Salam, jimat atau mantra yang menggunakan huruf-huruf yang tidak bisa dimengerti maknanya tidak boleh dipakai mengobati orang sakit, kecuali huruf-huruf tersebut tertera dalam kitab yang pengarangnya memiliki kualitas ilmu dan agama yang baik. Apabila pengarang kitab itu memerintahkan untuk menulis atau membaca huruf-huruf itu, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa huruf-huruf tersebut boleh digunakan. Karena pengarang kitab tersebut tidak mungkin berani menyampaikan perintah, kecuali setelah menguasai dan melihat makna dari huruf-huruf tersebut.

Dalam Fawâkih ad-Diwâni tertera komentar Imam Ibnu Irfah mengenai huruf-huruf yang tidak diketahui maknanya. Imam Ibnu Irfah mengatakan:

“Jika manfaat dari huruf itu teruji berulang kali, maka boleh digunakan sebagai mantra. Sebab tidak diragukan lagi, kemanfaatan yang nyata itu bukanlah sebuah kekufuran. Di antara mantra-mantra itu ada yang digunakan untuk melepas orang yang terikat, menenangkan orang gila, mengeluarkan jin, atau menghilangkan pendarahan, walau pun peranti yang digunakan hanya berupa besi seperti cincin Sulaiman yang di dalamnya tertulis sebagian asma’. Sedangkan Imam Malik lebih cenderung pada hukum makruh bagi mantra-mantra yang tidak diketahui maknanya”.

Syarat yang harus dipenuhi dalam perapalan mantra atau pembuatan jimat memang sangat ketat, sebab sebagian dari mantra atau jimat itu ada yang mengandung kekufuran. Persyaratan itu dibuat agar pelakunya tidak terjebak dalam kekafiran. Ketika Nabi ditanya tentang mantra, beliau menjawab:

اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ

Tunjukkanlah mantramu kepadaku”.

Setelah mereka menunjukkan mantra itu kepada Nabi, lantas Nabi bersabda:

لا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

“Mantra diperbolehkan selama di dalamnya tidak mengandung kemusyrikan”.

Selain itu, pada suatu hari Aswad bertanya kepada Aisyah tentang mantra yang digunakan untuk mengobati demam. Aisyah menjawab:

رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي الرُّقْيَةِ مِنْ كُلِّ ذِي حُمَةٍ

“Rasul mengizinkan mantra untuk setiap yang terkena racun”.

Dalam riwayat Ummu Salamah disebutkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى فِي بَيْتِهَا جَارِيَةً فِي وَجْهِهَا سَفْعَةٌ , فَقَالَ : اسْتَرْقُوا لَهَا , فَإِنَّ بِهَا نَظْرَةً

Sesungguhnya Nabi melihat seorang jariayah dirumahnya, wajah jariyah itu terlihat pucat. Lalu Nabi bersabda: Buatkanlah jampi-jampi untuk jariyah itu, sesungguhnya ia terkena penyakit ‘ain”.

Lalu bagaimana pengertian dari hadis-hadis yang melarang penggunaan mantra atau jimat, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Utbah bin ‘Amir:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَلَا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ عَلَّقَ وَدَعَةً فَلَا وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka allah tidak akan menyempurnakannya, barangsiapa menggantungkan kulit/rumah kerang maka Allah tidak akan membiarkannya”.

Dalam riwayat Ibnu Mas’ud disebutkan:

إنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya mantra, jimat dan guna-guna istri adalah syirik”.

Larangan dalam hadis tersebut oleh Abu Ubaidah diarahkan pada proses pembuatan yang tidak menggunakan bahasa Arab atau bahasa yang tidak diketahui maknanya. Selain itu juga di arahkan bagi orang yang meyakini bahwa jimat yang digantungkan pada leher bisa mendatangkan kesehatan dan menghilangkan penyakit sebagaimana keyakinan orang jahiliyah. Sedangkan menggantungkan jimat diperbolehkan bagi orang-orang yang mengharapkan berkah, dengan cara menyebutkan asma’ Allah dalam jimat. Selain itu ia meyakini bahwa tidak ada yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan bahaya selain Allah.

Isim

Isim merupakan amalan tertentu, sehingga dengan amalan tersebut seseorang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, orang yang semula tidak bisa bela diri, tiba-tiba bisa, atau keajaiban lain.

Isim tidak bisa dikategorikan dalam sihir, sebab kekuatan sihir bisa timbul melalui olah jiwa dan ritual. Cara yang digunakan biasanya dengan bertawajjuh pada alam ulwiyyah (alam atas), seperti bintang, planet atau yang lain. Juga bisa dengan bertawajjuh kepada setan dengan cara mengagungkan, menyembah, melayani, dan tunduk pada mereka. Ringkasnya, kekuatan sihir bisa muncul dengan cara bertawajjuh dan sujud (menyembah) pada selain Allah, yaitu tawajjuh yang akan mengakibatkan kekafiran.

Koneksi yang dibangun dalam isim bukanlah koneksi dengan alam ulwiyyah, melainkan dengan alam atau arwah sufliyyah (alam bawah yang berupa immaterial atau jin). Koneksitas dengan alam sufliyyah ini diperbolehkan ketika memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

  1. Pelakunya orang baik dan disiplin syariat.
  2. khodam yang digunakan berupa arwah khoiriyyah (jin mukmin).
  3. Instrumen yang digunakan (semisal mantra atau wirid) tidak melanggar syarak.
  4. Kekuatan yang ditimbulkan tidak membahayakan orang lain, yakni bahaya-bahaya yang dilarang oleh syarak.

Ketika empat syarat di atas terpenuhi, maka kekuatan yang ditimbulkan oleh isim atau sejenisnya bukan termasuk sihir, melainkan asrôr atau maûnah. Wallahu A’lam bis Showab.

Kholid Mahdum Asror. Mahasiswa S3 Ilmu Syariah IAIN Metro Lampung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *