Tidarislam.co- Salah satu buah kemajuan ilmu filologi bagi muslim Indonesia adalah tersingkapnya kembali perbendaharaan karya ulama klasik yang hampir tidak pernah dibicarakan lagi karena minimnya akses referensi. Contohnya adalah penelitian Oman Fathurahman, seorang filolog yang dengan metode keilmuannya mampu menjadi “pengarang mediator yang baik” dan menggali kembali mutiara ilmu tasawuf yang terkandung dalam Ithaf Dzaki, kitab karya ulama besar pada abad ke-17, Syaikh Ibrahim Al-Kurani (1616-1690) dari Kurdistan, tokoh tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syattariyah.
Sebagaimana tanggapan Buya Husein Muhammad yang positif terhadap diterbitkannya kitab ini, hemat penulis, hadirnya kitab ini patut diapresiasi, dan kitab ini merupakan referensi sangat elementer bagi siapa saja yang meneliti atau hendak menyelami ilmu tasawuf lebih dalam, bahkan bagi ilmu-ilmu keislaman secara umum. Kitab Ithaf Dzaki, yang secara kebahasaan dimaknai sebagai “persembahan bagi jiwa-jiwa yang cerdas”, dapat dikatakan sebagai upaya dalam menyikapi kontroversi di Nusantara terkait konsep “wahdatul wujud”, atau diistilahkan juga dengan “tauhid wujud”. Tulisan pendek ini ingi menggaribawahi beberapa pokok pikiran dari kitab yang mengagumkan ini.
Pandangan wujudiyah ini sebelumnya dikemukakan oleh Syaikh Fadhlullah al-Burhanfuri (w. 1620) dalam kitabnya al-Tuhfah al-Mursalah, yang meneruskan pemikiran wujudiyah Syaikh Ibnu Arabi (1165-1240). Kitab ini menjadi bacaan para pelaku tasawwuf di Nusantara pada masa itu. Pandangan wujudiyah Syaikh Fadlullah al-Burhanfuri tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama, antara “ulama fikih” yang berpijak ketat pada syariat dan menolak faham “wahdatul wujud”, dengan “ulama tasawuf” yang membela faham “wahdatul wujud” dengan berpijak ketat pada ilmu hakikat namun, seringkali, cenderung mengabaikan syariat.
Syaikh Ibrahim al-Kurani, yang menjadi salah satu rujukan para ulama Nusantara, kemudian menulis kitab Ithaf Dzaki sebagai penjelasan komprehensif untuk mengurai kontroversi atau kesalahpahaman yang muncul terhadap kitab Tuhfah al-Mursalah. Melalui kitab ini, beliau menegaskan kembali kedudukan ilmu hakikat yang melahirkan konsep “wahdatul wujud”. Para ahli ilmu ini adalah para muhaqqiq (ahli hakikat). Hanya dengan mengetahui ilmu hakikat ini seseorang bisa sampai pada pemahaman maksud dan kebenaran doktrin “wahdatul wujud”.
Untuk menemukan maksud kebenaran dari kitab Tuhfah Mursalah, Syaikh Ibrahim al-Kurani menjelaskan tentang kaedah-kaedah yang diperlukan bagi ilmu hakikat. Terkait ilmu ini, Syaikh Ibrahim menjelaskan kerangka pokok, bahwa pengetahuan hakikat iluminatif (yang diraih oleh para ahli hakikat menggunakan pengalaman spiritual mukasyafah atau ketersingkapan hijab), tidak akan pernah menyimpang dari esensi kebenaran wahyu al-Quran. Para ahli hakikat yang termasyhur sekalipun seperti Ibnu Arabi, Syaikh al-Junaid, Abu Yazid, juga meyakini hal yang sama, bahwa pengetahuan hakikat yang dimiliki para wali Allah tidak akan lepas dari fondasi kebenaran wahyu al-Quran dan Sunnah Nabi.
Namun demikian, yang dimaksud al-Quran disini bukan semata al-Quran dalam pengertian teks lahiriah. Perlu disadari bahwa makna yang terkandung dalam al-Quran, berdasarkan penjelasan kaidah pemahaman al-Quran dari para ahli tafsir termasyhur, juga memiliki sisi lahir (eksoteris) dan sisi batin (esoteris) yang memiliki multi-dimensi kedalaman dan keluasan. Kesempurnaan pemahaman al-Quran terletak pada penguasaan terhadap makna kedua dimensi itu. Dengan demikian, dalam melihat al-Quran, para ahli sufi atau ahli hakikat tidak hanya mengacu pada makna lahir al-Quran semata, tetapi juga menggali sampai makna batin yang terdalam. Meski para sufi seringkali menafsirkan berbeda dari sisi makna lahirnya, tetapi itu bukan kekeliruan, karena boleh jadi ia mengacu kepada makna batin yang terdalam dari al-Quran.
Selanjutnya, para ahli sufi, dalam hal ini, memilih untuk menyelami kedalaman makna Ilahi dan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dengan tidak mengandalkan pada kemampuan inderawi dan akal logika manusia, melainkan melalui jalan pengalaman spiritual, seperti mengandalkan ilham, musyahadah, dan mukasyafah atau bil-kasyaf (dengan ketersingkapan kenyataan). Syaikh Ibrahim al-Kurani menegaskan keterbatasan akal manusia dalam memahami pesan-pesan terdalam al-Quran, dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, maupun memahami tentang hakikat Tuhan dan alam semesta.
Pengetahuan hakiki tentang dimensi esoteris tersebut melampuai jangkauan kemampuan akal manusia. Tetapi, bukan berarti pengetahuan ketuhanan itu tidak dapat dimiliki manusia, karena pengetahuan ilmu hakikat semacam itu telah dimiliki oleh para ulama salafu salih, terutama para al-Khulafa ar-Rasyidun, buah dari kualitas spiritual dan kedekatan mereka dengan Tuhan. Merekalah orang-orang yang dianugerahi oleh Tuhan dengan kualitas ilmu hakikat yang mendalam, dan mereka merupakan tonggak kepemimpinan spiritual pada masanya.
Ilmu-ilmu yang dimiliki para sufi besar setelah al-Khulafa ar-Rasyidun yang empat, dalam hal ini sebagaimana yang dianugerahkan kepada Syaikh Fadlullah al-Burhanfuri, adalah selevel pengetahuan hakikat yang mendalam, yang merupakan “aspek batin” dari syariat, dan dicapai dari hasil ketaatan sempurna terhadap syariat. Mereka justru mengikuti syariat lahir dan batinnya.
Mengutip dari penjelasan Syaikh Ibn Arabi, Syaikh Ibrahim al-Kurani menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat akal dan spiritual yang lebih rendah dari itu (sebagaimana kita sebagai manusia yang awam) hendaknya lebih berupaya untuk menyucikan hati, agar memiliki hati yang lapang, berendah hati, untuk menerima dan mengambil manfaat dari capaian-capaian spiritual para ahli hakikat terdahulu, dan menghindari berbantah-bantahan (debat) yang berpotensi membuka amarah, dan tidak hanya mengandalkan akal dan syariat lahiriah semata untuk memahami ajaran mereka.
Tidak semata memahami secara akali, melainkan juga memadukannya dengan pertimbangan-pertimbangan spiritual untuk membuka rahasia-rahasia di balik syariat sehingga kita mampu memahami ajaran-ajaran sufistis seperti itu. Sebab, pada dasarnya, jika mereka sejak awal tidak menyangkal pengetahuan hakikat itu, mereka pada hakikatnya berada dalam satu jalur yang sama menuju ketuhanan, meski mereka belum merasakan secara otentik seperti apa yang dirasakan oleh para ahli ilmu hakikat yang terdahulu.
Syaikh Ibrahim al-Kurani kemudian menegaskan prinsip dasar bahwa orang-orang yang mendalami ilmu hakikat wujudiyah, lazim untuk meyakini bahwa tidak ada pertentangan antara pengetahuan hakikat seperti “wahdatul wujud”, dengan pengetahuan dalam syariat. Pengetahuan ini tidak membatalkan tuntutan “taklif” untuk mematuhi perintah dan larangan dalam syariat. Justru, dengan mematuhi syariat itu, mereka yang membenarkan “wahdatul wujud” sedang meneguhkan prinsip “tauhid wujud”, dalam arti meneguhkan prinsip kesatuan manivestasi ketuhanan yang terkandung dalam “wahdatul wujud” itu sendiri, karena segala sesuatu, termasuk syariat, merupakan manivestasi dari satu Wujud dan Nama-nama Allah SWT. Sebaliknya, dengan pengetahuan “wahdatul wujud” justu akan menguatkan iman dan membenarkan kewajiban mematuhi syariat, penetapan hukum-hukum kasab atas izin Allah, dan melaksanakannya merupakan bentuk tauhid perbuatan hamba kepada Tuhannya.
Secara lebih luas lagi, Syaikh Ibrahim al-Kurani kemudian menegaskan bahwa ilmu hakikat, atau ilmu tasawuf, tidak mengugurkan kewajiban-kewajiban yang diberlakukan dalam ilmu syariat hanya karena seorang sufi telah mendapatkan kasyaf atau hijab ilmu pengetahuan hakiki. Orang yang mendalami ilmu tasawuf bukan berarti dapat lepas dari kewajiban syar’I dan hukum-hukum ketuhanan. Tak segan beliau menyatakan, bahwa klaim orang yang bebas dari kewajiban syariat setelah mendapatkan kasyaf atau ketersingkapan hijab, itu merupakan sebuah kesesatan.
Seringkali klaim itu didasarkan pada penafsiran “wa’bud rabbaka hatta ya’tiyaka al-yaqin” (Q.S: 15:99), di mana “al-yaqin” di situ sering ditafsirkan sebagai “al-kasyf”, sehingga seolah dipahami “sembahlah Tuhanmu hingga kamu mendapatkan kasyaf”, dan setelah mendapatkan “al-kasyf” itu gugurlah kewajiban seseorang terhadap syariat. Penafsiran tersebut adalah penasiran yang menyesatkan. Terlebih jika berkaca pada kisah kenabian, “kasyfaf” yang dialami Nabi justru terjadi sebelum menerima wahyu, yang berisi tentang syariat Islam.
Memperkuat pesan itu, mengutip Syaikh Ibn Arabi dalam kitab Mawaqi’ Nujum, Syaikh Ibrahim al-Kurani menuliskan: “…semua amal perbuatan ini, wahai anakku, adalah fondasi kehendak dan jalan (sufi) tidak akan pernah gugur hingga ia meninggal dunia; jika seorang salik yang mempelejari ilmu tasawuf melalaikan fondasi-fondasi itu dalam tindakan dan perilakunya, niscaya ia telah terperdaya. Bagi seseorang yang telah wushul (sampai pada hakikat), tidak akan terpikirkan sama sekali untuk meninggalkan semua fondasi tersebut; jika ia mengaku telah wushul, lalu meninggalkan perbuatan baik yang menyertainya, pengakuan itu adalah dusta…” (Fathurrahman, 2012:112)
Terkahir, Syaikh Ibrahim al-Kurani juga ingin meyakinkan bahwa esensi ajaran “wahdatul wujud” tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip teologi ahlusunnah yang diyakini oleh mayoritas Muslim, terutama dari prinsip tauhid atau mengesakan Tuhan. Kesemuanya itu disatukan oleh prinsip tauhid La Ilaha Ilallah, bahwa tiada Tuhan kecuali Allah. Ajaran ini juga tidak ingin menyatukan dua entitas yang telah diyakini perbedaan hakikinya antara Tuhan sebagai Wujud Wajib dan makhluk dan alam semesta sebagai Wujud yang Mungkin. Tuhan tetaplah realitas yang niscaya, sementara manusia dan alam semesta tetaplah wujud yang kontingen, fana, dan akan berakhir pada masanya.
Melalui kitab ini, Syaikh Ibrahim al-Kurani seolah ingin mengurai kesalahpahaman terhadap kitab Tuhfah al-Mursalah yang memuat tentang ajaran wujudiyah, selain dengan mengutip beberapa ulama sufi yang lebih terkemuka, juga mengutip beberapa penjelasan secara langsung dari sumber ajaran “wahdatul wujud”, yakni Syaikh Ibn Arabi sendiri terutama dalam kitabnya Fusush al-Hikam. Wallahu a’lam bishawab.
Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN.