Filantropi Islam

Islam dan Filantropi

Tidarislam.co – Istilah “filantropi” diambil dari terminologi modern di dunia Barat. Ia diserap dari bahasa Yunani, “philein” yang artinya cinta, dan “anthropos” yang artinya manusia. Filantropi dapat diartikan sebagai mencintai manusia atau kemanusiaan. Praktik filantropi kemudian identik dengan sikap kedermawanan, menolong sesama manusia. Secara sederhana filantropi dapat dipahami sebagai sebagai upaya suka rela untuk menolong orang lain, baik dengan mendermakan barang material seperti uang, atau non-material seperti waktu, tenaga, pikiran, dan seterusnya dalam rangka untuk membantu sesama manusia.

Dengan pengertian dasar tersebut, filantropi sebagai sikap kedermawanan dan saling menolong sebenarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Di antara bentuk filantropi dalam ajaran Islam tercermin dalam praktik mendermakan harta, seperti zakat, infak, shadaqah, dan wakaf. Bahkan zakat merupakan salah satu rukun paling utama dari agama Islam, selain syahadat, sholat, puasa, dan haji. Tidak kurang-kurang Islam mengingatkan tentang hal itu dalam al-Quran maupun al-Hadist.

Agama Islam bahkan sangat menganjurkan filantropi. Agama Islam tidak hanya mengajarkan membangun kesalehan bagi kepentingan individu semata, tetapi juga kesalehan yang dapat dirasakan orang banyak. Islam mengajarkan untuk memperhatikan nasib diri sendiri dan nasib orang lain. Ajaran Islam tidak hanya berorientasi untuk menjadikan diri menjadi orang soleh bagi dirinya sendiri, tetapi juga memiliki kesalehan sosial yang berdampak dan bermanfaat bagi banyak orang.

Dalam istilah Gus Dur, membantu sesama adalah bentuk dari manivestasi “Islamku” dan “Islam anda” menjadi “Islam kita semua”, atau Islam yang dirasakan manfaatnya banyak orang. Nilai-nilai Islam, selain nilai-nilai partikular untuk membangun kesejahteraan umat Islam, juga memiliki nilai-nilai universal yang berlaku untuk semua umat manusia, seperti kesejahteraan dan keadilan.

Tujuan filantropi dalam agama Islam, selain membersihkan harta yang didapatkan dari usaha, juga untuk menolong nasib sesama manusia, terutama kelompok lemah atau mustadhafin. Sebab, di dalam rizki yang kita dapatkan dalam usaha kita, terdapat hak orang lain di dalamnya yang harus diberikan. Konsep-konsep Islam tentang zakat, infak, dan sedekah kemudian semakin dipahami secara lebih luas, tidak hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban religius semata, tetapi juga didayagunakan untuk kemaslahatan umum dan membebaskan manusia dari problem-problem keadilan sosial.

Misalnya, zakat, infak dan sedekah yang disalurkan untuk membantu korban-korban konflik sosial. Korban bencana, korban kekerasan seksual, penderita penyakit yang tidak memiliki akses pengobatan, juga menjadi prioritas yang mendapatkan bantuan sedekah. Wakaf produktif dengan membuat sebuah amal usaha yang hasilnya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan social, pelayanan kesehatan, pendidikan.

Filantropi Islam menjadi bagian dari filantropi keagamaan, dimana agama dijadikan landasan spirit utama dalam berderma. Filantropi tidak semata-mata sebuah aksi humanis, tetapi pelaksanaan perintah Tuhan (the commands of God). Hal ini berbeda dengan filantropi yang tidak berafiliasi keagamaan, atau humanisme yang lebih sekuler, yang mendasarkan filantropi pada nilai-nilai kemanusiaan semata.

Filantropi Muslim di Indonesia

Barangkali benar jika masyarakat Indonesia tidak terlalu akrab dengan istilah filantropi, meskipun sejatinya mereka sehari-hari terlibat dalam praktik filantropi dalam arti berderma. Praktik filantropi secara tradisional telah melekat dalam budaya masyarakat Indonesia. Bahkan, masyarakat Indonesia mendapatkan reputasi di dunia sebagai bangsa yang berwatak filantropis.

Lembaga Charities Aid Foundation (CAF) dalam survei terbaru tentang World Giving Indeks (WGI) tahun 2023 menempatkan Indonesia berada dalam peringkat tertinggi di dunia dalam soal kedermawanan dengan nilai 68 poin. Indonesia bahkan bertahan menjadi negara paling dermawan selama enam tahun berturut-turut. CAF menyatakan: “Indonesia is the world’s most generous country”.

Muslim Indonesia semestinya percaya diri dan optimis karena memiliki prestasi yang bagus dalam soal filantropi. Organisasi-oganisasi Islam yang mapan di Indonesia, khususnya NU dan Muhammadiyah, telah lama mempraktikkan dan melembagakan filantropi, dan filantropi menjadi bagian dari sarana dakwah mereka. Organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI juga mengeluarkan fatwa-fatwa khusus terkait filantropi.

Sejak awal (1912), Muhammadiyah meletakkan pelayanan social sebagai bagian utama dari agenda perjuangan dakwahnya. Pilar utama dakwah Muhammadiyah, selain pelayanan keagamaan (Islamic teaching), juga pelayanan social (social services), mencakup pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan ekonomi. Muhammadiyah telah membangun ribuan sekolah dasar dan menengah, perguruan tinggi, TPA/TPQ, pondok pesantren, panti asuhan, rumah sakit, klinik, rumah bersalin, panti jompo, rehabilitasi cacat, masjid, musholla, hingga mengelola tanah wakaf jutaan meter persegi. Murid-murid Kyai Dahlan, sangat memiliki visi filantropis, dengan menggagas satu program penolong kesengsaraan umum, dan kini telah berkembang menjadi ratusan rumah sakit milik Muhammadiyah.

Kini, program-program filantropi Muhammadiyah bernaung di bawah Lembaga Amal Zakat Infak Sedekah Muhammadiyah (LAZIS-MU), yang mengelola dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf dari warga Muhammadiyah. Program mereka kini bahkan semakin progresif, dengan tata kelola yang semakin digital dan berorientasi pembangunan berkelanjutan. Pelayanan pendidikan Muhammadiyah juga inklusif, misalnya, dengan menghadirkan pendidikan di Papua yang notabene mayoritas non-Muslim.

Filantropi juga telah menjadi spirit para ulama ketika mendirikan Nahdlatul Ulama (1926). NU dibangun oleh para ulama yang notabene juga sebagai pelayan keagaman dan pendidikan masyarakat. Sejak awal NU hadir dengan misi pelayanan pendidikan, terutama berbasis pendidikan tradisional pesantren. Para kyai di pesantren biasanya mewakafkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mendidik dan mengasuh santri selama 24 jam di pesantren.

Tercatat hampir 40.000 pesantren tumbuh di Indonesia, mayoritas berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama. Banyak dari pesantren-pesantren tersebut didirikan di atas tanah wakaf. Sejak 2005, filantropi NU baik dalam zakat, infak, sedekah maupun wakaf  (disingkat ZISWAF) terlembagakan dalam branding yang baru melalui NU Care-LAZIS-NU. Filantropi NU juga hadir dengan terobosan-terobosan fundraising, seperti pembentukan program Koin NU untuk menjangkau warga Nahdliyyin yang rata-rata di pedesaan.

Di luar Muhammadiyah dan NU, lembaga filantropi keagamaan Islam juga banyak sekali. Untuk menyebut di antaranya: Lembaga Amil Zakat (LAZ) Rumah Zakat Indonesia, LAZ Dompet Dhuafa, Yayasan Baitul Maal Muamalat, Yayasan Dana Sosial al-Fatah, Baitul Maal Hidayatullah, hingga lembaga-lembaga Amil Zakat di berbagai Yayasan dan organisasi Islam seperti LAZ Dewan Dakwah Islamiyah, LAZ al-Irsyad al-Islamiyah. Mereka beroperasi dengan seizin pemerintah. Ada sekitar 37 Lembaga Amil Zakat dan beroperasi dengan izin pemerintah pada skala nasional, 70 Lembaga Amil Zakat pada skala kota atau kabupaten. Selain itu, di Indonesia juga BAZNAS, atau Badan Amil Zakat Nasional, Lembaga pemerintah non-struktural yang mengelola dana zakat dari masyarakat.

Tantangan ke Depan

Filantropi Islam memang mendapatkan reputasi yang baik jika melirik kepada kiprah Muhammadiyah dan NU. Namun filantropi Islam Indonesia belakangan juga mendapatkan sorotan dari kasus-kasus “mal-praktik filantropi”, karena beberapa lembaga filantropi mendistribusikan dana umat untuk kepentingan yang justru bertentangan dengan spirit agama. Seperti kasus ACT yang terjerat kasus penyelewengan dana. Bebeperapa kegiatan filantropi Islam salafi juga teridentifikan melakukan penggalangan dana untuk mensponsori terorisme. Atas preseden tersebut, tidak sedikit yang menuntut penggiat filantropi Islam Indonesia “mengoreksi diri”. Beberapa konsep filantropi dalam Islam non-mainstrem seperti Syiah dan Ahmadiyah juga jarang dibicarakan.

Masih banyak lagi persoalan filantropi, khususnya terkait tata kelolanya. Oleh karena itu, peran pengawasan pemerintah dalam meregulasi filantropi Islam juga penting, untuk menciptakan mekanisme filantropi ke depan yang aman secara syariah, aman secara regulasi pemerintah (misalnya menjaga terjaminnya kejujuran dan transprasansi), dan aman dari segi pemanfaatan atau penyalurannya.

Perkembangan filantropi Islam Indonesia kini juga semakin modern dengan tata kelola dan dukungan teknologi aplikasi sehingga dapat dilakukan oleh masyarakat secara lebih luas dan mudah. Gerakan filantropi Islam perlu terus dikembangkan untuk membangun pilar kemandirian masyarakat sipil, agar tidak sepenuhnya bergantung kepada kehadiran pemerintah atau negara, bahkan justru dapat membantu negara terutama ketika negara memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam memenuhi hak-hak warganya.

Seturut dengan kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah Muslim, semakin antusiasnya masyarakat dalam beragama, dan kreativitas generasi muda dalam mengadopsi teknologi, maka peran dan masa depan tata Kelola filantropi Islam di Indonesia semestinya semakin cerah, semoga!

Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN.

 

3 thoughts on “Filantropi Islam

Comments are closed.