Oleh: Muhammad Nur Prabowo Setyabudi
Tidarislam.co- Banyak pelajaran sejarah yang dapat kita ambil dari setiap berkunjung ke museum. Setelah mengikuti rangkaian kegiatan Asean Youth Conference bersama beberapa pemuda dari berbagai negara Asia Tenggara, penulis menyempatkan berkunjung ke Museum International Islamic Art di Kuala Lumpur yang menyimpan khasanah budaya Islam Melayu. Kebetulan sedang digelar pameran tentang “Sejarah Kopi di Dunia Islam”. Penulis ingin berbagi memori catatan seputar dunia kopi.
Berbicara tentang kopi, minuman kopi yang sangat masyhur di dunia, ternyata juga sangat populer di dalam kebudayaan Islam. Masyarakat Arab menyebutnya sebagai “qahwa”. Dalam tradisi muslim, kopi bukan hanya menjadi sajian menarik bagi seorang tamu dan menjadi bagian dari ikramu dhuyuf (memuliakan tamu) sebagai kewajiban seorang muslim. Kopi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual kaum sufi. Sejarah perkembangan sufisme atau tasawwuf di dunia Islam tak lepas dari kopi.
Pada tahun 1400an, kopi ditemukan dan diperkenalkan oleh seorang ulama sufi, Syaikh Ali ibn Umar al-Syadzili, dan menjadi popular di kalangan pelaku tarekat atau tasawuf. Kopi menjadi sajian menu di majelis-majelis dzikir, zawiyah-zawiyah, tempat bertirakatnya para sufi. Kopi membantu melawan rasa kantuk dan menguatkan daya konsentrasi, sehingga kopi diyakini dapat menguatkan seorang dalam melakukan dzikir. Selain Syaikh Ali, orang yang memperkenalkan kopi adalah Syaikh Muhammad bin Saeed al-Dhibhani yang berasal dari Aden. Kabar tentang asyiknya minuman kopi tersebar hingga ke kota Makkah, setelah diperkenalkan oleh Abu Bakar bin Abdullah al-Shadzili al-Aidrusi, dan menjadi salah satu minuman favorit yang sangat digemari banyak kalangan muslim, termasuk di sekitar masjidil haram saat itu.
***
Di balik populernya kopi, ternyata kopi pernah menjadi polemik di kalangan ulama. Seiring populernya kopi di kalangan umat muslim, tidak semua muslim kemudian menerimanya dengan baik, sehingga menciptakan beberapa “kontroversi kopi”. Maraknya kopi pernah menimbulkan banyak polemik pelarangan oleh otoritas agama setempat. Ada beberapa ulama mengharamkannya karena kopi dianggap memiliki kandungan yang merusak dan memabukkan atau efek negatif yang ditimbulkannya. Di antara yang pernah melarang kopi adalah ulama Mesir, Qadi al-Quddat ibn Shihtah al-Halabi.
Beberapa fakta dalam sejarah muslim juga menunjukkan pernah diharamkannya kopi. Khair Beg al-Mi’mar, gubernur Mamluk dari Makkah, pada tahun 1511, mengumpulkan para ulama untuk membahas tentang status kopi menurut hukum agama. Pasalnya, waktu itu, banyak pemuda yang terlibat tindak kejahatan dan bertingkah buruk di sekitar masjid tempat mereka biasa meminum kopi. Atas beberapa pertimbangan, para hakim memutuskan larangan konsumsi kopi. Gubernur Khair Beg lantas melarang peredaran kopi di Makkah. Kedai-kedai kopi di sekitar Makkah akhirnya ditutup. Bisnis kopi tidak boleh dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup. Kebijakan itu menimbulkan reaksi di sebagian dunia yang lain karena dianggap tidak tepat. Beberapa ulama utusan dari Mesir memberikan rekomendasi, agar pelarangan itu seharusnya ditujukan kepada perkumpulan-perkumpulan yang berpotensi kejahatan di sekitar kedai kopi, bukan kepada kedai kopi atau minuman kopi itu sendiri.
Konon pada tahun 1520an, Imam Zakariya al-Anshari juga pernah mengharamkan kopi, namun setelah mendengar beberapa testimoni dari para penikmat kopi, dan manfaat kopi bagi agama, beliau mencabut kembali fatwanya tersebut dan mengizinkan setiap muslim meminum kopi. Muhammad Ibn al-Arraq al-Shafi, yang merupakan seorang hakim, juga pernah melarang pengedaran kopi, mengingat pernah terjadi suatu peristiwa kejahatan di sebuah warung kopi pada suatu hari di kota Makkah. Larangan itu kemudian dicabut kembali setelah diketahui bahwa ternyata setelah diselidiki tidak ada hubungan antara kejahatan yang terjadi dengan minuman kopi. Di Makkah, tahun 1521, Al-Hakim Badruddin al-Qusi membolehkan meminum kopi. Bahkan ia sendiri menulis suatu karangan tentang manfaat meminum kopi.
Muhyiddin Muhammad ibn Ilyas, seorang hakim madzhab Hanafi, sempat melakukan eksperiman pribadi untuk menguji kadar minuman kopi. Hasilnya, kopi tidak menimbulkan efek yang negatif, merusak mental, atau memabukkan. Sehingga, ia tidak berani melarang seorang muslim untuk meminum kopi, seperti halnya seorang muslim dilarang meminum alkohol.
Ketika kopi benar-benar diperbolehkan untuk diminum, maka ia menjadi semakin popular di kalangan umat muslim. Pada tahun 1534-1536, ketika dunia Islam timur tengah dan Syiria di bawah pemerintahan Khosrof Pasha, banyak bermunculan kedai-kedai kopi yang menghidangkan aneka rasa kopi. Setelah tahun 1560 an, di Damaskus, Syaikh Abu al-Fath al-Maliki memberikan argumentasi dan turut mendukung legalisasi kopi. Lantas, dua orang dari Syiria bernama Hakam dan Syams kemudian mempopulerkan kedai kopi kepada masyarakat Istanbul Turki. Penduduk Istanbul pun kemudian senang menikmati kopi di kedai-kedai kopi.
Kopi sempat benar-benar dilarang secara legal bahkan diharamkan di sebagian dunia Islam. Di kota Makkah pada tahun 1544, ketika di bawah pemerintahan Sultan Utsmani bernama Sultan Sulaiman, kopi benar-benar menjadi minuman yang dilarang untuk dikonsumsi. Hanya saja, pelarangan itu berlaku untuk siang hari, karena dikhawatirkan masyarakat akan terlena meluangkan waktu bagi kewajiban bekerjanya demi minum kopi. Adapun malam hari, mereka tetap diperbolehkan untuk menikmati kopi seperti biasa.
Sebagian ulama menangkap kesan memabukkan dan melenakan di dalam kopi. Sehingga, ia mendukung pengharaman kopi. Seorang ulama dari al-Azhar bermadzhab Syafií bernama Ahmad bin Abd al-Haq al-Sunbati, benar-benar melarang kopi karena alasan efek memabukkan. Ketika terjadi perdebatan pro dan kontra-kopi di Mesir, beliau mendukung kelompok anti-kopi. Namun siapa sangka, dampak perdebatan itu berujung pertikaian. Ketika ada ulama yang mengharamkan kopi seperti Al Sunbati, seolah-olah itu menjadi legalisasi untuk menyerang siapa saja yang meminum kopi, sehingga banyak kedai-kedai kopi yang akhirnya diserang dan dirusak oleh orang-orang yang mengaku membela agama dan membersihkan masyarakat dari barang haram. Kekerasan terhadap peminum kopi tak terhindarkan.
Di Istanbul, pusat kota Islam pada masa Utsmani, kopi juga sempat menarik polemik. Salah satu yang memprotes keras peredaran kopi justru para tokoh sufi dan para imam darwis. Pasalnya, banyak kaum muslim yang terlena dengan kopi sehingga lupa dengan ibadahnya. Tempat-tempat ibadah menjadi semakin sepi dan kosong pada waktu shalat, sementara kedai-kedai kopi justru ramai dikunjungi sepanjang hari.
Masih tentang diharamkannya kopi. Di Istanbul pula, di bawah kekuasaan Sultan Murad IV, hukuman berat benar-benar akan dijatuhkan bagi seseorang yang didapati meminum kopi dan membuka kedai kopi, bahkan hingga hukuman mati. Pelarangan itu diberlakukan hampir selama 30 tahun. Pada masa-masa itu, praktis kopi menjadi barang langka di sana dan sulit didapati.
Pada masa Sultan Salim II, mufti yang berkuasa saat itu, Ebussuud Efendi, sempat mengeluarkan fatwa kopi yang melarang meminum kopi, dan melarang membuka kedai-kedai kopi, baik di Istanbul maupun di wilayah-wilayah kekuasaan yang lain seperti di Aleppo, Homs, Damaskus dan Baitul Maqdis.
***
Di luar dunia Islam, di Eropa, pada masa kekaisaran Jerman, Raja Fredrick II juga sempat melarang peredaran kopi. Daripada minum kopi, Fredrick II justru memperbolehkan warganya meminum bir. Sebabnya, ia yakin bahwa dalam kondisi yang menuntut ekstra energi, seperti dalam situasi peperangan, kopi tidak akan dapat membuat prajurit-prajurit dan warganya kuat bertahan. Oleh karena itu, ia lebih cenderung melarang warganya minum kopi.
Di sebagian tradisi Kristen, kopi ternyata juga pernah menjadi persoalan, karena sempat dianggap sebagai “minuman setan” oleh penganut Kristen ortodoks yang taat. Persoalannya hampir sama dengan di dunia muslim, menyangkut dampak dan efek dari mengkonsumsinya. Namun akhirnya, Paus Clement VIII, memperbolehkan umat Kristiani meminum kopi karena kopi bukan minuman setan. Ia seperti minuman-minuman yang lainnya yang tidak membahayakan.
Di Inggris, minuman kopi melahirkan persinggungan dengan urusan politik. Raja Charles II pada sekitar abad ke-17, menginstruksikan untuk menutup kedai-kedai kopi, karena ada kekhawatiran politik bahwa kedai-kedai kopi menjadi sarang bagi suara perlawanan terhadap pemerintah. Di kedai-kedai kopi, marak dilakukan perbincangan intelektual dan diskusi-diskusi kritis yang apabila disuarakan akan sangat mengancam kekuasaan pemerintah. Sehingga, kedai-kedai kopi diputuskan untuk dilarang. Namun demikian, keputusan itu akhirnya ditentang banyak pihak dan gagal lalu dicabut kembali. Hal yang sama terjadi di Istanbul, pada abad ke-17 pula, Wazir Utama Sultan Mehmed IV juga pernah memutuskan untuk menutup kedai-kedai kopi karena dianggap berpotensi menjadi sarang politik perlawanan dan sebab-sebab politik yang lain. Dalam waktu yang cukup lama, kedai-kedai kopi benar-benar ditutup.
Sejarah kopi juga pernah melibatkan protes kaum perempuan terhadap peredaran kopi. Sebab, efek kopi dianggap menjadikan para kaum lelaku menjadi impoten. Mereka melarang para kaum lelaki untuk bepergian dan menghabiskan uang dan energi di kedai kopi. Sebab, banyak penikmat kopi kemudian melupakan urusan rumah tangga.
Sementara pada masa Turki Modern, sampai pada sekitar tahun 1970 an, kopi justru dianggap sebagai barang mewah. Kopi dianggap sebagai minuman elit yang memiliki sisi kemewahan tertentu. Impor kopi bahkan sempat dilarang karena kopi berharga sangat tinggi.
***
Bagaimanapun, kopi tetap saja tak terpisahkan dari budaya Islam sampai hari ini. Mengutip dari beberapa sumber, banyak ulama yang mengajurkan untuk meminum kopi, tentu dengan kadar yang baik. Selain Syaikh Imam Zakariya al-Anshari, beberapa ulama sufi ternama memberikan komentar dan membolehkan minum kopi untuk tujuan kebaikan, di antaranya Syaikh Abdul Qodir Bin Muhammad Al Jaziry, Syaikh Abdurrohman Bin Ziyad, Syaikh Abu Bakr bin Salim Attarimi, Syaikh Abdulloh Al Haddad, Syaikh Abdurrohman bin Muhammad Al Aidrus, Syaikh Bamakhromah, dan masih banyak lagi. Muslim di Indonesia juga mengenal nama ulama Syaikh Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri yang menulis kitab terkenal Irsyadul Ikhwan fi Syurbil Qohwah wa Addukhon, semacam petunjuk untuk orang muslim menikmati kopi dan tembakau.
Di pesantren-pesantren di Indonesia, kopi telah menjadi minuman favorit para santri. Kopi diyakini juga menjadi minuman para wali. Saking identiknya kopi dengan amalan dzikir, sampai-sampai ada gurauan di kalangan santri, “selama di dalam perut kita masih tersisa zat bijih kopi, malaikat kelak tidak akan mempertanyakan identitas kita karena sudah pasti dia adalah muslim dan ahli dzikir”. Kini, di zaman modern, kita tidak pernah lagi terdengar polemik kopi, karena minum kopi telah menjadi gaya dan komoditas masyarakat muslim, dan menjadi kebutuhan sehari-hari. Wallahualam.
Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN.