![](https://tidarislam.co/wp-content/uploads/2023/12/kh-hasyim-asyari-1000x1024.jpeg)
Latar Belakang
Kyai Hasyim Asy’ari (Hadratu Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari) lahir di Jombang Jawa Timur, tepatnya di Pesantren Gedang, pada 14 Februari 1871 M, bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah 1287 H. Ayahnya bernama Kyai Asy’ari dan ibunya bernama Nyai Halimah. Beliau berasal dari latar belakang keluarga bangsawan Islam dan Jawa yang sangat religius. Silsilah Kyai Hasyim As’ari dari jalur ayah berasal dari jalur keturunan Sunan Giri atau Syeikh Ainul Yakin; sementara dari jalur ibu, nasab beliau sampai kepada Prabu Brawijaya VI. Kakeknya, Kyai Usman, merupakan pendiri pesantren Gedang di Tambakrejo Jombang, tempat dimana Kyai Hasyim Asy’ari dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya.
Pendidikan Tradisional
Karena berasal dari keluarga pesantren, Kyai Hasyim Asy’ari tumbuh dalam didikan langsung ayah dan kakeknya di lingkungan pesantren. Sekian lama tumbuh dan mengenal pendidikan dasar-dasar keislaman di pesantren Gedang, Kyai Hasyim kemudian mengikuti ayah yang mendirikan pesantren bernama Pesantren Keras di Jombang. Beliau menghabiskan masa remaja bersama keluarga, menemani sang ayah yang berjuang dalam medan pendidikan dan dakwah. Disanalah beliau mendapat pendidikan ilmu agama langsung dari sang ayah di pesantren yang diasuhnya.
Ketika usia menginjak sekitar 15 tahun, Kyai Hasyim Asy’ari memulai pengembaraan ilmu agama dari pesantren ke pesantren. Beliau menimba ilmu kepada para Kyai di beberapa pesantren sepuh di Jawa dan Madura, antara lain: pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo). Juga di pesantren Kademangan asuhan Kyai Cholil di Bangkalan (dikenal sebagai Syaikh Kholil Bangkalan) dan Pesantren Darat di Semarang asuhan Kyai Muhammad Soleh (dikenal sebagai Mbah Soleh Darat).
Selama berguru kepada Kyai Soleh Darat di Pesantren Darat Semarang inilah beliau bertemu dengan teman seperjuangan, Kyai Ahmad Dahlan. Mereka tinggal dalam satu asrama, saling mengenal, saling mengagumi, dan saling bersahabat. Keduanya juga memiliki hubungan emosional yang erat karena memiliki ikatan nasab dari jalur nasab yang sama sampai ke Sunan Giri. Silaturahmi mereka terus terjaga sampai keduanya kelak memimpin organisasi Islam tradisional dan modern terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Karena kharisma dan kepandaiannya, Kyai Hasyim Asy’ari kemudian diambil menantu oleh Kyai Yaqub, pengasuh Pesantren Siwalan Panji. Setelah menikah dan membangun biduk rumah tangga pada usia 21 tahun, Kyai Hasyim Asy’ari kemudian menunaikan ibadah haji. Sebagaimana kebiasaan orang Jawa dahulu, menunaikan ibadah haji digunakan tidak hanya menjalankan ritual haji, tetapi juga menjadikannya pintu peluang untuk menuntut ilmu kepada ulama-ulama Hijaz.
Selama 4 tahun tinggal di Haramain, Kyai Hasyim Asy’ari berguru pada beberapa ulama Hijaz, antara lain Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sulthan bin Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawi, Syaikh Ibrahim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Said Yamani, Sayyid Husein al-Habsyi, Sayyid Bakar Syatta, Syaikh Rohmatullah, Sayyid Alawi bin Ahmad Assegaf, Sayyid Abdullah Zawawi, Syaikh Solih Bafadhal, dan Syaikh Sulthan Hasyim Dagistani. Beliau banyak berguru dari para keturunan Rasulullah di sana, termasuk mengambil sanad Hadist Bukhori kepada Sayyid Abbas Maliki (Kakek Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki).
Tercatat bahwa Kyai Hasyim Asyari dikenal sebagai orang yang rajin mendatangi majelis ilmu di Masjidil Haram, termasuk gemar berziarah kepada ulama-ulama alawiyyin. Selain berguru kepada ulama Arab, beliau juga menimba ilmu kepada ulama-ulama besar yang berasal dari Nusantara, terutama Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau dan Syaikh Muhammad Mahfudz dari Termas. Keduanya murid dari Syaikh Nawawi dari Banten, pemuka ulama Jawi di Haramain. Untuk kedua kalinya, lagi-lagi, beliau bertemu dengan sahabat lama Kyai Ahmad Dahlan, yang sama-sama berguru dalam halaqah para ulama Hijaz tersebut.
Konon karena prestasinya dalam bidang ilmu agama, Kyai Hasyim Asy’ari sempat ikut mengajar ilmu hadist di Masjidil Haram. Sepulang dari menimba ilmu di Haramain, beliau kemudian berdakwah di Nusantara dan bergerak dalam pengajaran dan pendidikan. Untuk mewadahi proses pendidikan tersebut beliau mendirikan pesantren Tebu Ireng di Jombang.
Nahdlatul Ulama
Kyai Hasyim Asy’ari bersama sejumlah Kyai menggagas berdirinya organisasi untuk mempersatukan para ulama dan menaungi perjuangan Islam dalam bidang dakwah, sosial, dan kemasyarakan. Maka pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H, didirikanlah Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan para ulama. Selain sebagai wadah perjuangan ulama, organisasi ini juga ditujukan untuk memperkuat faham Sunni atau Ahlu Sunnah Wal Jamaah di kalangan masyarakat muslim di Indonesia, ketika faham Wahabi sedang sangat berpengaruh di Timur Tengah terutama Makkah dan Madinah. Organisasi ini juga ditujukan untuk memperkuat nilai-nilai moderat dan nilai-nilai nasionalisme atau cinta tanah air, mengingat masa itu Indonesia sedang berada dalam belenggu kolonialisme.
Mengingat pentingnya kepeloporan Kyai Hasyim Asy’ari dalam melahirkan dan memimpin organisasi NU sebagai Rais Akbar sejak 1927-1947, maka beliau diberi gelar sebagai “Hadratu Syaikh”, yang artinya Maha Guru. Kini, organisasi yang didirikannya itu telah menjelma menjadi organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia. Nahdlatul Ulama, bersama Muhammadiyah, menjadi dua sayap organisasi Islam moderat terbesar di Indonesia dan paling disegani di dunia. Keduanya mampu mempertahankan wajah Islam yang damai di Indonesia ketika badai konflik agama dan politik sedang melanda berbagai negara Islam di Timur Tengah dan Asia.
Perjuangan
Di masa pergerakan, Kyai Hasyim Asy’ari juga turut mempelopori perjuangan kemerdekaan. Beliau turut membangkitkan semangat rakyat melawan kolonialisme sehingga dikenal sebagai ulama yang anti-kolonialisme. Sikap tegasnya ditujukkan dengan menolak segala bentuk anugerah penghormatan yang hendak diberikan oleh pemerintah kolonial. Di masa akhir pendudukan Jepang dan kembalinya penjajah Belanda pasca Kemerdekaan, beliau mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa Resolusi Jihad untuk memerangi kolonialisme dan mempertahankan tanah air ini ternyata memberikan pengaruh besar kepada masyarakat, khususnya di Jawa Timur, sehingga mampu menggerakkan berbagai elemen masyarakat dan militer di Jawa Timur untuk melawan kembalinya pendudukan Belanda di Indonesia. Resolusi ini juga mendorong para santri untuk terlibat dalam perang bersejarah tanggal 10 November 1945 di Surabaya. Tanggal itu kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Agama dan nasionalisme bagi Kyai Hasyim Asy’ari bak dua keping mata uang yang terpisahkan. Dakwah agama tidak akan tumbuh dengan subur dalam suasana bangsa yang diliputi konflik, perang saudara, dan perpecahan. Sehingga beliau berpesan bahwa “agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.” Dalam menghadapi perbedaan pendapat keagamaan, beliau juga berpesan “Jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan dan permusuhan. Karena yang demikian itu merupakan kejahatan besar yang bisa meruntuhkan bangunan masyarakat, dan menutup pintu kebaikan di penjuru mana saja.”
Beliau wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di komplek makam pesantren Tebu Ireng. Pada tahun 1964, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Untuk mempertahankan spirit cinta tanah air, momentum hari lahirnya Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan oleh pemerintah Joko Widodo sebagai Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Karya
Semasa hidup, selain sebagai pejuang, pengajar, dan pendakwah, Kyai Hasyim Asy’ari juga seorang penulis yang produktif. Beliau telah melahirkan banyak warisan ilmu berupa karya tulis dalam berbagai bidang keislaman, antara lain: Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, Adabul ‘Alim wal Muta’alim, At-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ati’ al-Arkam wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan, Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah, Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li jam’iyyat Nahdhatul Ulama’, dan masih banyak lagi.
***
M.N. Prabowo Setyabudi
REDAKSI TIDAR ISLAM